by : H. Bambang Wijonarso
email : bambang_wijonarso@yahoo.com
Dalam sebuah buku “Tazkiyatun Nafs” karangan ulama besar dari Yordania Sa’id Hawwa semoga Allah merahmatinya dimana Imam Al-Ghazali semoga Allah merahmatinya berkata bahwa orang yang memandang dengan cahaya bashirah “akal” mengetahui bahwa tidak ada keselamatan kecuali dalam pertemuan dengan Allah yang maha tinggi. Tidak ada jalan lain untuk bertemu, kecuali dengan kematian seorang hamba dalam keadaan mencintai dan mengenal Allah. Sesungguhnya kecintaan dan keakraban tidak tercapai kecuali dengan selalu mengingat (dzikir) Zat yang dicintai (Allah). Sesungguhnya pengenalan kepadaNya tidak akan tercapai kecuali dengan selalu memikirkan berbagai ciptaanNya, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatanNya.
Senantiasa berdzikir dan berpikir tidak mudah dilakukan kecuali dengan meninggalkan dunia dan segala kenikmatannya serta cukup mengambil dari dunia sebatas yang diperlukan. Hal itu tidak tercapai kecuali dengan menghabiskan waktu-waktu malam dan siang untuk tugas-tugas dzikir dan pikir. Andai seorang hamba menjatahkan separuh waktunya untuk urusan dunia dan berbagai kenikmatan yang dibolehkan misalnya, lalu separuh lagi untuk berbagai ibadah maka kecenderungan kepada dunia lebih unggul karena sesuai tabiat jiwa manusia.
Fenomena yang terjadi dimasyarakat boleh jadi keseimbangan dzikir dan pikir tidak terjadi dimana ada yang lebih cenderung kapada kekuatan atau keunggulan “dzikir”nya dibandingkan dengan “pikir” begitu pula sebaliknya. Jika keunggulan dzikirnya yang diperoleh maka akan terjadi keadaan yang statis tidak bisa menjadi solusi permasalahan manusia/umat yang sangatlah dinamis. Jika keunggulan “pikir”nya sangatlah kuat maka akan terjadi kekosongan atau kering hati dari iman sehingga akan menjadi orang yang sombong (mentuhankan pikiran/akal) seperti “Qorun” dan “Firaun” serta pemahaman liberalisme, sekulerisme dan pluralisme. Memang peningkataan kekuatan dzikir sangatlah diperintahkan dan menghasilkan manfaat yang banyak dengan beberapa dalil yaitu hatinya akan menjadi tenang, dapat melihat kesalahan diri sendiri dan diselamatkan dari azab Allah.
Orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (Qs. Ar Ra’d (13) : 28).Manfaat kekuatan dzikir adalah sabda Rosulullah SAW :”Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya. (qs. Al Araaf [7] : 201).
Dari Muadz Ibnu Jabal Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Amal yang diperbuat anak Adam tidak ada yang menyelamatkannya dari adzab Allah selain dzikir kepada Allah." Riwayat Ibnu Abu Syaibah dan Thabrani dengan sanad hasan. Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Allah Taala berfirman: Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku terhadap-Ku dan Aku selalu bersamanya ketika dia mengingat-Ku. Apabila dia mengingat-Ku dalam dirinya, maka Aku pun akan mengingatnya dalam diri-Ku. Apabila dia mengingat-Ku dalam suatu jemaah manusia, maka Aku pun akan mengingatnya dalam suatu kumpulan makhluk yang lebih baik dari mereka. Apabila dia mendekati-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekatinya sehasta. Apabila dia mendekati-Ku sehasta, maka Aku akan mendekatinya sedepa. Dan apabila dia datang kepada-Ku dengan berjalan, maka Aku akan datang kepadanya dengan berlari. (Shahih Muslim No.4832).
Secara gamblang dapatlah digambarkan untuk menjawab hal tentang surga, neraka, siksa kubur, keberkahan, hidayah, iman, dan hati hanya dapat dilihat dengan kacamata “dzikir” (sampai kapanpun kalau dipikirkan tidak akan sampai). Akan tetapi untuk hal yang berhubungan dengan alam semesta dengan sain dan teknologinya tentunya dilihat dari kacamata “pikir”. Bagaimana pandangan Islam dalam hal dzikir dan pikir harus selaras dan seimbang saling melengkapi. Hal ini difirmankan Allah SWT : ”Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka (Qs. Ali Imraan [3] :190 – 191).
Manusia yang selalu melengkapi keseimbangan yang maksimal antara dzikir dan pikir maka outputnya adalah jika dia seorang yang kaya harta maka akan menjadikan dirinya dermawan (jauh dari kekikiran), jika ditakdirkan menjadi miskin harta dan ilmu maka dia selalu bersabar, bersyukur diberi ketaatan kepada Allah dan terus berupaya. Jika dia seorang yang banyak ilmunya (Jabatan dunia ataupun akherat) maka dia akan banyak memberi solusi dari permasalahan masyarakat untuk meningkatkan persaudaraan dan kesejahteraan serta manfaat. Jika dia seorang pemimpin maka selalu memberi contoh kebaikan (“kebaikan” menurut Allah dan RosulNya bukan hawa nafsu dan akalnya semata) tidak menzolimi dan selalu bersikap adil. Jika dia seorang ahli maksiat tentunya segera bertaubat dan melakukan banyak kebaikan.
Demikian pilar-pilar dari pandangan Islam terhadap keseimbangan dengan saling melengkapi antara “dzikir” dan “pikir”.
Wallahu a’lam bish-shawab
Renungan HAti
Bambang Wijonarso
email : bambang_wijonarso@yahoo.com

Senantiasa berdzikir dan berpikir tidak mudah dilakukan kecuali dengan meninggalkan dunia dan segala kenikmatannya serta cukup mengambil dari dunia sebatas yang diperlukan. Hal itu tidak tercapai kecuali dengan menghabiskan waktu-waktu malam dan siang untuk tugas-tugas dzikir dan pikir. Andai seorang hamba menjatahkan separuh waktunya untuk urusan dunia dan berbagai kenikmatan yang dibolehkan misalnya, lalu separuh lagi untuk berbagai ibadah maka kecenderungan kepada dunia lebih unggul karena sesuai tabiat jiwa manusia.
Fenomena yang terjadi dimasyarakat boleh jadi keseimbangan dzikir dan pikir tidak terjadi dimana ada yang lebih cenderung kapada kekuatan atau keunggulan “dzikir”nya dibandingkan dengan “pikir” begitu pula sebaliknya. Jika keunggulan dzikirnya yang diperoleh maka akan terjadi keadaan yang statis tidak bisa menjadi solusi permasalahan manusia/umat yang sangatlah dinamis. Jika keunggulan “pikir”nya sangatlah kuat maka akan terjadi kekosongan atau kering hati dari iman sehingga akan menjadi orang yang sombong (mentuhankan pikiran/akal) seperti “Qorun” dan “Firaun” serta pemahaman liberalisme, sekulerisme dan pluralisme. Memang peningkataan kekuatan dzikir sangatlah diperintahkan dan menghasilkan manfaat yang banyak dengan beberapa dalil yaitu hatinya akan menjadi tenang, dapat melihat kesalahan diri sendiri dan diselamatkan dari azab Allah.
Orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (Qs. Ar Ra’d (13) : 28).Manfaat kekuatan dzikir adalah sabda Rosulullah SAW :”Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya. (qs. Al Araaf [7] : 201).
Dari Muadz Ibnu Jabal Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Amal yang diperbuat anak Adam tidak ada yang menyelamatkannya dari adzab Allah selain dzikir kepada Allah." Riwayat Ibnu Abu Syaibah dan Thabrani dengan sanad hasan. Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Allah Taala berfirman: Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku terhadap-Ku dan Aku selalu bersamanya ketika dia mengingat-Ku. Apabila dia mengingat-Ku dalam dirinya, maka Aku pun akan mengingatnya dalam diri-Ku. Apabila dia mengingat-Ku dalam suatu jemaah manusia, maka Aku pun akan mengingatnya dalam suatu kumpulan makhluk yang lebih baik dari mereka. Apabila dia mendekati-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekatinya sehasta. Apabila dia mendekati-Ku sehasta, maka Aku akan mendekatinya sedepa. Dan apabila dia datang kepada-Ku dengan berjalan, maka Aku akan datang kepadanya dengan berlari. (Shahih Muslim No.4832).
Secara gamblang dapatlah digambarkan untuk menjawab hal tentang surga, neraka, siksa kubur, keberkahan, hidayah, iman, dan hati hanya dapat dilihat dengan kacamata “dzikir” (sampai kapanpun kalau dipikirkan tidak akan sampai). Akan tetapi untuk hal yang berhubungan dengan alam semesta dengan sain dan teknologinya tentunya dilihat dari kacamata “pikir”. Bagaimana pandangan Islam dalam hal dzikir dan pikir harus selaras dan seimbang saling melengkapi. Hal ini difirmankan Allah SWT : ”Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka (Qs. Ali Imraan [3] :190 – 191).
Manusia yang selalu melengkapi keseimbangan yang maksimal antara dzikir dan pikir maka outputnya adalah jika dia seorang yang kaya harta maka akan menjadikan dirinya dermawan (jauh dari kekikiran), jika ditakdirkan menjadi miskin harta dan ilmu maka dia selalu bersabar, bersyukur diberi ketaatan kepada Allah dan terus berupaya. Jika dia seorang yang banyak ilmunya (Jabatan dunia ataupun akherat) maka dia akan banyak memberi solusi dari permasalahan masyarakat untuk meningkatkan persaudaraan dan kesejahteraan serta manfaat. Jika dia seorang pemimpin maka selalu memberi contoh kebaikan (“kebaikan” menurut Allah dan RosulNya bukan hawa nafsu dan akalnya semata) tidak menzolimi dan selalu bersikap adil. Jika dia seorang ahli maksiat tentunya segera bertaubat dan melakukan banyak kebaikan.
Demikian pilar-pilar dari pandangan Islam terhadap keseimbangan dengan saling melengkapi antara “dzikir” dan “pikir”.
Wallahu a’lam bish-shawab
Renungan HAti
Bambang Wijonarso
Tidak ada komentar:
Posting Komentar