By : H. Bambang Wijonarso
Email : bambang_wijonarso@yahoo.com
Dalam proses manusia mencari ilmu harus merupakan kebutuhan, bukanlah sebagai pengisi waktu-waktu senggang alias ban serep karena hukum menuntut Ilmu adalah merupakan kewajiban bagi seorang yang mengaku dirinya beragama Islam, sehingga manusia akan mengetahui perkara halal, haram, makruh. mubah dan subhat. Begitupula mencari ilmu tidak dibatasi dengan ruang dan waktu seperti tua/muda, kaya/miskin, cantik/jelek, pria/wanita, ustad,ulama, khyai /orang awam sekalipun. Kewajiban menuntut ilmu telah ditetapkan Rosululah dengan sabdanya : Menuntut ilmu wajib atas tiap muslim (baik muslimin maupun muslimah). (HR. Ibnu Majah).
Dalam konteks ilmu dimana boleh jadi pemahaman manusia sudah melenceng jauh, manusia berlomba-lomba mengejar ilmu yang berhubungan dengan pencampaian yang maksimal dan sukses apapun yang berhubungan dengan masalah keduniaan khususnya asesoris seperti jabatan, harta, popularitas, kekinian (modern), kepercayaan, banyaknya pengikut, title pendidikan formal dsb. Sedangkan Ilmu agama yang berhubungan dengan dunia-akherat hanya sebatas menggugurkan kewajiban, Sehingga melahirkan dikotomi keilmuan, kalau ilmu yang berangkat dari agama terkesan hanya ditempatkan pada level diMasjid, kalau bulan ramadhon, kalau ada yang meninggal, naik haji, perkawinan, warisan, zakat, sedekah dan sebagainya.
Sedangkan untuk urusan berjualan, berbisnis, berdagang, perkantoran, organisasi/partai, berpolitik, bernegara, bersosial, berkomunikasi, berbudaya, dan berperang dimana ada tiga kelompok manusia, pertama sangat mengandalkan referensi kemampuan dari akal, pikiran dan nafsunya semata, kedua ada yang mengandalkan campuran akal, pikiran dan nafsu mix dengan Ilmu agama biasanya golongan munafik (hanya mencari untungnya saja) dan ketiga ada yang benar-benar murni dilandasi dengan ilmu agama, biasanya sangat sedikit jumlahnya dan umumnya tidak mempunyai kemampuan dalam merubah (jangan takut yang masuk surganya Allah hanya rombongan kecil, sedangkan yang masuk neraka berupa rombongan besar).
Islam sama sekali tidak melarang mencari Ilmu dunia semaksimal mungkin dengan asesoris keduniaan selama itu dapat mendekatkan dirinya kepada Allah, tentunya dengan bukti setiap pemikiran, prilaku atau aktifitas nyata dan hawa nafsunya selalu dibingkai dengan aturan Allah dan Rosulnya. Disinilah bukti Islam tidak mendikotomi Ilmu sebagai contoh seluruh bahasa didunia adalah milik Allah, seluruh bangsa didunia adalah milik Allah, seluruh ilmu (matimatika, statistic, bumi, kelautan, alam semesta, fisika, biologi dsb) adalah milik Allah, buktinya siapa yang berani mengclaim ilmu (asesoris dunianya) yang diperoleh karena kehebatan dirinya hanyalah fir’aun dan Qorun serta orang yang mengikutinya. Hal ini difirmankan Allah :
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (Qs. Al Hujuraat [49]: 13).
Pandangan Islam mengenai Ilmu dibagi dua pertama “fardhu Ain” Tujuannya untuk menciptakan pembentukan pribadi sesuai maunya Allah seperti, membaca Al Qur’an, sholat, puasa, zakat dan naik Haji (rukun Islam), kemudian bagaimana memperoleh dan mempertahankan keimanan kepada Allah Malaikat, kitab, rosul, hari akherat, qodho dan qodar (rukun Iman) serta menyakini bahwa kita dapat melihat Allah atau keyakinan bahwa kita selalu diawasi oleh Allah (ihsan), juga semua aturan Allah didalam Al Quran dan RosulNya (Al Hadis). Jika hal ini tidak dapat diraih oleh umat islam maka termasuk pelanggaran berat alias dosa besar.
Email : bambang_wijonarso@yahoo.com

Dalam konteks ilmu dimana boleh jadi pemahaman manusia sudah melenceng jauh, manusia berlomba-lomba mengejar ilmu yang berhubungan dengan pencampaian yang maksimal dan sukses apapun yang berhubungan dengan masalah keduniaan khususnya asesoris seperti jabatan, harta, popularitas, kekinian (modern), kepercayaan, banyaknya pengikut, title pendidikan formal dsb. Sedangkan Ilmu agama yang berhubungan dengan dunia-akherat hanya sebatas menggugurkan kewajiban, Sehingga melahirkan dikotomi keilmuan, kalau ilmu yang berangkat dari agama terkesan hanya ditempatkan pada level diMasjid, kalau bulan ramadhon, kalau ada yang meninggal, naik haji, perkawinan, warisan, zakat, sedekah dan sebagainya.
Sedangkan untuk urusan berjualan, berbisnis, berdagang, perkantoran, organisasi/partai, berpolitik, bernegara, bersosial, berkomunikasi, berbudaya, dan berperang dimana ada tiga kelompok manusia, pertama sangat mengandalkan referensi kemampuan dari akal, pikiran dan nafsunya semata, kedua ada yang mengandalkan campuran akal, pikiran dan nafsu mix dengan Ilmu agama biasanya golongan munafik (hanya mencari untungnya saja) dan ketiga ada yang benar-benar murni dilandasi dengan ilmu agama, biasanya sangat sedikit jumlahnya dan umumnya tidak mempunyai kemampuan dalam merubah (jangan takut yang masuk surganya Allah hanya rombongan kecil, sedangkan yang masuk neraka berupa rombongan besar).
Islam sama sekali tidak melarang mencari Ilmu dunia semaksimal mungkin dengan asesoris keduniaan selama itu dapat mendekatkan dirinya kepada Allah, tentunya dengan bukti setiap pemikiran, prilaku atau aktifitas nyata dan hawa nafsunya selalu dibingkai dengan aturan Allah dan Rosulnya. Disinilah bukti Islam tidak mendikotomi Ilmu sebagai contoh seluruh bahasa didunia adalah milik Allah, seluruh bangsa didunia adalah milik Allah, seluruh ilmu (matimatika, statistic, bumi, kelautan, alam semesta, fisika, biologi dsb) adalah milik Allah, buktinya siapa yang berani mengclaim ilmu (asesoris dunianya) yang diperoleh karena kehebatan dirinya hanyalah fir’aun dan Qorun serta orang yang mengikutinya. Hal ini difirmankan Allah :
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (Qs. Al Hujuraat [49]: 13).
Pandangan Islam mengenai Ilmu dibagi dua pertama “fardhu Ain” Tujuannya untuk menciptakan pembentukan pribadi sesuai maunya Allah seperti, membaca Al Qur’an, sholat, puasa, zakat dan naik Haji (rukun Islam), kemudian bagaimana memperoleh dan mempertahankan keimanan kepada Allah Malaikat, kitab, rosul, hari akherat, qodho dan qodar (rukun Iman) serta menyakini bahwa kita dapat melihat Allah atau keyakinan bahwa kita selalu diawasi oleh Allah (ihsan), juga semua aturan Allah didalam Al Quran dan RosulNya (Al Hadis). Jika hal ini tidak dapat diraih oleh umat islam maka termasuk pelanggaran berat alias dosa besar.
Kedua adalah “Fardhu Kifayah” tujuannnya untuk membentuk masyarakat yang kuat dan dalam hal ini termasuk ilmu kedokteran, hukum, ekonomi, sipil, kemasyarakatan dan sejenisnya, ilmu tafsir, ilmu hadist, ilmu hukum waris, Ilmu bahasa Arab (Al Qur’an). Akan tetapi kebanyakan orang hanya tahu tentang pengurusan jenazah dari memandikan, mengkafankan, menyolatkan, mendoakan dan mengkuburkan. Jika hal ini dapat dilakukan oleh sebagian orang artinya cukup mewakilinya maka gugurlah pelanggarannya (dosanya).
Boleh jadi fenomena pemahaman tentang Ilmu dimasyarakat telah terjadi meng”kifayah”kan fardu ain atau sebaliknya meng”ain”kan fardhu kifayah. Hal ini dapat dibuktikan dengan berlomba lombanya manusia mengejar asesoris keduniaan dengan akal, pikiran dan hawa nafsunya semata dan diperparah dengan mengclaim apa yang diraihnya ini untuk kepentingan diri, kelompok dan seluruh manusia tanpa diiringi dengan aturan Ilmu agama.
Marilah kita meluruskan apa yang telah kita capai berupa Ilmu memperoleh asesoris dunia (Jabatan, harta, dan popularitas) apakah sudah sesuai dengan kemauan yang mencipta yaitu Allah SWT?
Wallahu A’lam Bish-shawab
Renungan HAti
Bambang Wijonarso.
Boleh jadi fenomena pemahaman tentang Ilmu dimasyarakat telah terjadi meng”kifayah”kan fardu ain atau sebaliknya meng”ain”kan fardhu kifayah. Hal ini dapat dibuktikan dengan berlomba lombanya manusia mengejar asesoris keduniaan dengan akal, pikiran dan hawa nafsunya semata dan diperparah dengan mengclaim apa yang diraihnya ini untuk kepentingan diri, kelompok dan seluruh manusia tanpa diiringi dengan aturan Ilmu agama.
Marilah kita meluruskan apa yang telah kita capai berupa Ilmu memperoleh asesoris dunia (Jabatan, harta, dan popularitas) apakah sudah sesuai dengan kemauan yang mencipta yaitu Allah SWT?
Wallahu A’lam Bish-shawab
Renungan HAti
Bambang Wijonarso.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar