email : bambang_wijonarso@yahoo.com

Jaminan Allah terhadap ketauhidan seseorang sangatlah mutlak sehingga apapun prilaku manusia selalu bersumber kepada aturan agama. Tauhid inilah yang mendasari manusia untuk melakukan seluruh perintah dan laranganNya. Salah satu perintah Allah adalah optimalisasi kebaikkan kepada ibu dan bapak bahkan ada sebuah aturan khusus dimana secara umum saat kita masuk usia empat puluh tahun maka usia orang tua masuk usia lanjut dimana diperintahkan jangan berkata “ah” dan “jangan membentak”, serta diharuskan berkata yang mulia. Adanya fenomena dimasyarakat sekarang sudah melebihi pelanggaran atas aturan yang Allah berikan yaitu dengan munculnya perseteruan antara anak atau mantu dengan orang tua/mertua bahkan sering kita menyaksilan dimedia elektronik terjadinya anak/mantu dan orang tua/mertua tidak saling sapa atau saling menghujat bahkan sampai keproses yang lebih fatal yaitu pembunuhan, masalah ini hanya berbeda pandangan/prinsip dalam kerangka mempertahankan kedudukan hawa nafsu duniawinya saja.
Mengapa hal tersebut terjadi, boleh jadi baik orang tua maupun anak pengetahuan “ilmu agama”nya sangat minim, atau tidak yakin bahwa “Ilmu agama” satu-satunya solusi dari seluruh persoalan kehidupan manusia. Mereka menganggap bahwa agama hanya ada dimasjid, dipesantren, saat bulan ramadhon, saat hari raya, saat sakit-sakitan, saat sudah tua, saat sholat, proses kematian, zakat, hal fakir /miskin, sedang diluar itu (bermuamalah----bekerja, berdagang, bisnis dll) bukanlah “Ilmu agama” atau yang lebih menghawatirkan anggapan “ilmu agama” hanya untuk para santri, ustad, kyai atau ulama. Pandangan ini sangatlah salah karena dalam firmanNya "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan" (Qs.Al-Mujaadilah [58] : ayat 11).
Saat kita sekarang menjadi orang tua ingin berbuat baik kepada ibu bapak akan tetapi boleh jadi kedua/salah satunya telah tiada, kalaupun orang tua masih ada kebaikan tidak dapat maksimal mengingat jarak domisili orang tua kita terlalu jauh, atau tidak ada waktu dengan kesibukan duniawi kita, atau orang tua kita sudah tidak dapat menikmati kebaikan yang kita berikan dikarenakan sakit yang parah, pikun atau sebab lainnya. Sungguh ironis disaat kita mampu melakukan kebaikan maksimal kepada kedua orang tua baik dari sisi tenaga, pikiran maupun harta dan jiwa sekalipun tidak dapat dinikmati oleh kedua orang tua kita. Boleh jadi kesalahan dan kelalaian orang tua kita dalam membimbing “Ilmu agama” kepada anaknya dahulu sangatlah minim maka berdo’alah agar dimaafkan, dan diberi kasih sayang oleh Allah atau anak yang salah dan lalai dari bimbingan yang baik dari kedua orang tuanya, akan tetapi janganlah kesalahan tersebut kita sekarang sebagai orang tua mengulangi lagi dengan tidaknya mengajarkan “Ilmu agama” kepada anak-anak kita sekarang? Atau ketidak sabaran kita sebagai orang tua dalam membimbing anak-anaknya. Memang tidak ada jaminan kalau orang tuanya ustad/ulama/kyai otomatis anaknya sama dengan bapaknya atau sebaliknya bapaknya preman anaknya preman karena untuk menjadi Ustad/kyai/ulama maupun preman bukan factor keturunan akan tetapi faktornya adalah keimanan dan ketakwaannya. Hanya saja orang tua sebagai wasilah ataupun perantara jalannya kebaikkan.
Linangan air mata seorang mukmim karena takut kepada ALLAH lebih baik daripada dunia seisinya dan lebih utama daripada ibadah setahun. Bertafakur tentang kebesaran dan kekuasaan ALLAH sesaat lebih baik daripada puasa enam puluh hari dan salat enam puluh malam. Bukankah ALLAH memiliki para malaikat yang menyeru setiap siang dan malam, “Wahai yang berumur empat puluh tahun, tanaman sudah hampir dipanen. Wahai yang berumur lima puluh tahun, marilah menuju hisab. Wahai yang berumur tujuh puluh tahun, apakah yang sedang kau tunggu? Oh, andai saja makhluk tidak tercipta. Andai saja mereka tahu untuk apa diciptakan dan mereka beramal untuk itu. Bukankah saatnya telah tiba? Berhati-hatilah dan Waspadalah…!”
Wallahu a’lam bish-shawab
Renungan HAti
Bambang Wijonarso
Tidak ada komentar:
Posting Komentar