by: H. Bambang Wijonarso
email : bambang_wijonarso@yahoo.com
Dari Amirul Mu’minin, (Abu Hafsh atau Umar bin Khottob rodiyallohu’anhu) dia berkata: ”Aku pernah mendengar Rosululloh shollallohu’alaihi wassalam bersabda: ’Sesungguhnya seluruh amal itu tergantung kepada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai niatnya. Oleh karena itu, barangsiapa yang berhijrah karena Alloh dan Rosul-Nya, maka hijrahnya kepada Alloh dan Rosul-Nya. Dan barangsiapa yang berhijrah karena (untuk mendapatkan) dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya itu kepada apa yang menjadi tujuannya (niatnya).’” (Diriwayatkan Bukhari dan Muslim).
Hati adalah tempat bersemayamnya akal dan rumah ruh. Akal adalah alat untuk memahami dan mangetahui baik-buruk dan benar-salah. Sedangkan otak adalah penyampai data kepada akal. Dengan demikian, yang bisa memahami dalil-dalil syariát adalah akal. Selama manusia selalu berinteraksi maksimal dengan Allah swt melalui perintah dan larangan-Nya tentunya input yang masuk kedalam otak akan menjadikan data base yang baik & benar sehingga oleh akal ditetapkan keadaan baik dan benar yang kemudian otomatis tersimpan dalam hati dan saat dibutuhkan output yang dihasilkan pasti adalah kebaikan. Jika kejadian ini diperoleh maka “Hati” sebagai panglima perang untuk menghancurkan seluruh pelanggaran & penyimpangan kepada Allah swt dan RosulNya sehingga yang ada berupa ketaatan.
Dalam Pelaksanaan Aktifitas hidup baik ibadah magdho maupun ghoira magdho harus dilandasi dengan dua pokok yaitu “Ikhlas” dan “Itiba”(contoh Rosul & para sahabah) dalam pembahasan ini khusus mengenai “bab ikhlas”. Ikhlas adalah pekerjaan hati yang bisa disebut dengan Niat. Dimana niat memiliki dua fungsi pertama, Jika niat berkaitan dengan sasaran suatu amal (ma’bud), maka niat tersebut berfungsi untuk membedakan antara amal ibadah dengan amal kebiasaan. Kedua jika niat berkaitan dengan amal itu sendiri (ibadah), maka niat tersebut berfungsi untuk membedakan antara satu amal ibadah dengan amal ibadah yang lainnya. Sebagai contoh kalau kita makan hanya rutinitas aktifitas kita sehari-hari tanpa niat maka tidak dapat dikatakan ibadah, akan dikatagorikan ibadah jika niat itu untuk mencari ridho Allah dan dilakukan dengan cara yang Rosulullah ajarkan (1/3 makanan,1/3 minuman,1/3 udara) sehingga dengan badan sehat dapat melakukan aktifitas segala perintah Allah dan Rosulnya.
Pengaruh Niat yang Salah Terhadap Amal Ibadah, Jika para ulama berbicara tentang niat, maka mencakup dua hal pertama, Niat sebagai syarat sahnya ibadah, yaitu istilah niat yang dipakai oleh fuqoha’. Kedua, Niat sebagai syarat diterimanya ibadah, dengan istilah lain “Ikhlas”. Niat pada pengertian yang kedua ini, jika niat tersebut salah (tidak Ikhlas) maka akan berpengaruh terhadap diterimanya suatu amal, dengan perincian sebagai berikut Jika niatnya salah sejak awal, maka ibadah tersebut batal. Tapi jika kesalahan niat terjadi di tengah-tengah amal, maka ada dua keadaan yaitu jika ia menghapus niat yang awal maka seluruh amalnya batal akan tetapi jika ia memperbagus amalnya dengan tidak menghapus niat yang awal, maka amal tambahannya batal.
Bagaimana beribadah dengan Tujuan Dunia pada dasarnya amal ibadah hanya diniatkan untuk meraih kenikmatan akhirat. Namun terkadang diperbolehkan beramal dengan niat untuk tujuan dunia disamping berniat untuk tujuan akhirat, dengan syarat apabila syariát menyebutkan adanya pahala dunia bagi amalan tersebut, sebagai contoh pedagang yang jujur, pemimpin yang adil, tidak melakukan korupsi saat ada kesempatan dsb. Amal yang tidak tercampur niat untuk mendapatkan dunia memiliki pahala yang lebih sempurna dibandingkan dengan amal yang disertai niat duniawi. Seorang sahabat berkata kepada Rasulullah, "Ya Rasulullah, seseorang melakukan amal (kebaikan) dengan dirahasiakan dan bila diketahui orang dia juga menyukainya (merasa senang)." Rasulullah Saw berkata, "Baginya dua pahala yaitu pahala dirahasiakannya dan pahala terang-terangan." (HR. Tirmidzi).
Manusia yang selalu dalam beraktifitas dalam kehidupannya selalu mengedepankan keikhlasan maka outputnya adalah jika dia seorang yang kaya harta maka akan menjadikan dirinya dermawan (jauh dari kekikiran), jika ditakdirkan menjadi miskin harta dan ilmu maka dia selalu bersabar, bersyukur diberi ketaatan kepada Allah dan terus berupaya. Jika dia seorang yang banyak ilmunya (Jabatan dunia ataupun akherat) maka dia akan banyak memberi solusi dari permasalahan masyarakat untuk meningkatkan persaudaraan dan kesejahteraan serta manfaat. Jika dia seorang pemimpin maka selalu memberi contoh kebaikan (“kebaikan” menurut Allah dan RosulNya bukan hawa nafsu dan akalnya semata) tidak menzolimi dan selalu bersikap adil. Jika dia seorang ahli maksiat tentunya segera bertaubat dan melakukan banyak kebaikan.
Bagaimana Allah memandang sebuah keikhlasan dengan firmannya : Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam menjalankan agama yang lurus (jauh dari Syirik/mempersekutukan Allah)...Qs Al Bayyinah [98] : 5 Dalam surat ini jelas lawan dari “ikhlas” (memurnikan ketaatan hanya kepada Allah) adalah bentuk kesyirikan, yang mana dosa syirik tidak akan pernah dimpuni Allah kecuali dengan bertaubat.
Marilah kita berupaya semaksimal mungkin untuk mengupayakan keikhlasan dalam berpikir, berbuat, beramal, beraktifitas, dan bermanfaat serta berintrospeksi diri hanya untuk mencari ridhonya Allah SWT.
Wallahu a’lam bish-shawab
Renungan HAti
Bambang Wijonarso
email : bambang_wijonarso@yahoo.com
Dari Amirul Mu’minin, (Abu Hafsh atau Umar bin Khottob rodiyallohu’anhu) dia berkata: ”Aku pernah mendengar Rosululloh shollallohu’alaihi wassalam bersabda: ’Sesungguhnya seluruh amal itu tergantung kepada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai niatnya. Oleh karena itu, barangsiapa yang berhijrah karena Alloh dan Rosul-Nya, maka hijrahnya kepada Alloh dan Rosul-Nya. Dan barangsiapa yang berhijrah karena (untuk mendapatkan) dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya itu kepada apa yang menjadi tujuannya (niatnya).’” (Diriwayatkan Bukhari dan Muslim).
Hati adalah tempat bersemayamnya akal dan rumah ruh. Akal adalah alat untuk memahami dan mangetahui baik-buruk dan benar-salah. Sedangkan otak adalah penyampai data kepada akal. Dengan demikian, yang bisa memahami dalil-dalil syariát adalah akal. Selama manusia selalu berinteraksi maksimal dengan Allah swt melalui perintah dan larangan-Nya tentunya input yang masuk kedalam otak akan menjadikan data base yang baik & benar sehingga oleh akal ditetapkan keadaan baik dan benar yang kemudian otomatis tersimpan dalam hati dan saat dibutuhkan output yang dihasilkan pasti adalah kebaikan. Jika kejadian ini diperoleh maka “Hati” sebagai panglima perang untuk menghancurkan seluruh pelanggaran & penyimpangan kepada Allah swt dan RosulNya sehingga yang ada berupa ketaatan.
Dalam Pelaksanaan Aktifitas hidup baik ibadah magdho maupun ghoira magdho harus dilandasi dengan dua pokok yaitu “Ikhlas” dan “Itiba”(contoh Rosul & para sahabah) dalam pembahasan ini khusus mengenai “bab ikhlas”. Ikhlas adalah pekerjaan hati yang bisa disebut dengan Niat. Dimana niat memiliki dua fungsi pertama, Jika niat berkaitan dengan sasaran suatu amal (ma’bud), maka niat tersebut berfungsi untuk membedakan antara amal ibadah dengan amal kebiasaan. Kedua jika niat berkaitan dengan amal itu sendiri (ibadah), maka niat tersebut berfungsi untuk membedakan antara satu amal ibadah dengan amal ibadah yang lainnya. Sebagai contoh kalau kita makan hanya rutinitas aktifitas kita sehari-hari tanpa niat maka tidak dapat dikatakan ibadah, akan dikatagorikan ibadah jika niat itu untuk mencari ridho Allah dan dilakukan dengan cara yang Rosulullah ajarkan (1/3 makanan,1/3 minuman,1/3 udara) sehingga dengan badan sehat dapat melakukan aktifitas segala perintah Allah dan Rosulnya.
Pengaruh Niat yang Salah Terhadap Amal Ibadah, Jika para ulama berbicara tentang niat, maka mencakup dua hal pertama, Niat sebagai syarat sahnya ibadah, yaitu istilah niat yang dipakai oleh fuqoha’. Kedua, Niat sebagai syarat diterimanya ibadah, dengan istilah lain “Ikhlas”. Niat pada pengertian yang kedua ini, jika niat tersebut salah (tidak Ikhlas) maka akan berpengaruh terhadap diterimanya suatu amal, dengan perincian sebagai berikut Jika niatnya salah sejak awal, maka ibadah tersebut batal. Tapi jika kesalahan niat terjadi di tengah-tengah amal, maka ada dua keadaan yaitu jika ia menghapus niat yang awal maka seluruh amalnya batal akan tetapi jika ia memperbagus amalnya dengan tidak menghapus niat yang awal, maka amal tambahannya batal.
Bagaimana beribadah dengan Tujuan Dunia pada dasarnya amal ibadah hanya diniatkan untuk meraih kenikmatan akhirat. Namun terkadang diperbolehkan beramal dengan niat untuk tujuan dunia disamping berniat untuk tujuan akhirat, dengan syarat apabila syariát menyebutkan adanya pahala dunia bagi amalan tersebut, sebagai contoh pedagang yang jujur, pemimpin yang adil, tidak melakukan korupsi saat ada kesempatan dsb. Amal yang tidak tercampur niat untuk mendapatkan dunia memiliki pahala yang lebih sempurna dibandingkan dengan amal yang disertai niat duniawi. Seorang sahabat berkata kepada Rasulullah, "Ya Rasulullah, seseorang melakukan amal (kebaikan) dengan dirahasiakan dan bila diketahui orang dia juga menyukainya (merasa senang)." Rasulullah Saw berkata, "Baginya dua pahala yaitu pahala dirahasiakannya dan pahala terang-terangan." (HR. Tirmidzi).
Manusia yang selalu dalam beraktifitas dalam kehidupannya selalu mengedepankan keikhlasan maka outputnya adalah jika dia seorang yang kaya harta maka akan menjadikan dirinya dermawan (jauh dari kekikiran), jika ditakdirkan menjadi miskin harta dan ilmu maka dia selalu bersabar, bersyukur diberi ketaatan kepada Allah dan terus berupaya. Jika dia seorang yang banyak ilmunya (Jabatan dunia ataupun akherat) maka dia akan banyak memberi solusi dari permasalahan masyarakat untuk meningkatkan persaudaraan dan kesejahteraan serta manfaat. Jika dia seorang pemimpin maka selalu memberi contoh kebaikan (“kebaikan” menurut Allah dan RosulNya bukan hawa nafsu dan akalnya semata) tidak menzolimi dan selalu bersikap adil. Jika dia seorang ahli maksiat tentunya segera bertaubat dan melakukan banyak kebaikan.
Bagaimana Allah memandang sebuah keikhlasan dengan firmannya : Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam menjalankan agama yang lurus (jauh dari Syirik/mempersekutukan Allah)...Qs Al Bayyinah [98] : 5 Dalam surat ini jelas lawan dari “ikhlas” (memurnikan ketaatan hanya kepada Allah) adalah bentuk kesyirikan, yang mana dosa syirik tidak akan pernah dimpuni Allah kecuali dengan bertaubat.
Marilah kita berupaya semaksimal mungkin untuk mengupayakan keikhlasan dalam berpikir, berbuat, beramal, beraktifitas, dan bermanfaat serta berintrospeksi diri hanya untuk mencari ridhonya Allah SWT.
Wallahu a’lam bish-shawab
Renungan HAti
Bambang Wijonarso
Tidak ada komentar:
Posting Komentar