Minggu, 25 April 2010

Khitan

By : H. Bambang Wijonarso

Email : pmkia@kiaceramics.com

Khitan atau lazim disebut dengan Sunat telah dilakukan sejak zaman prasejarah, yaitu dari Zaman Batu dan makam Mesir purba. Alasan tindakan ini (khitan) masih belum jelas pada masa itu tetapi teori-teori memperkirakan bahwa tindakan ini merupakan bagian dari ritual pengorbanan atau persembahan, tanda penyerahan pada Yang Kuasa (Tuhan), langkah menuju kedewasaan, tanda kekalahan atau perbudakan, atau upaya untuk mengubah estetika atau seksualitas. Sunat pada laki-laki diwajibkan pada agama Islam dan Yahudi. Praktik ini juga terdapat di kalangan mayoritas penduduk Korea Selatan, Amerika, dan Filipina. 

Khitan atau sunat adalah memotong sebagian kulit (Kulup bahasa kedokteran) pada alat reproduksi manusia. Khitan (Sunat) bermanfaat untuk menjaga kesehatan saluran dan alat reproduksi pria, karena biasanya pada penis yang tidak disunat, di balik kulit penutup penis (kulup) sering ada timbunan cairan penis (smegma) yang tidak bisa keluar dengan sempurna karena terhalang kulit kulup. Nah smegma ini bisa menjadi tempat yang nyaman bagi bakteri-bakteri dan jamur. Akibatnya jika tidak dibersihkan, bisa mengundang infeksi bakteri dan jamur yang bisa membahayakan kesehatan reproduksi pria. Selain itu smegma yang berisi bakteri/jamur pun akan menimbulkan bau yang tak sedap, yang bisa mengganggu kepercayaan diri. Sehingga dengan dilakukan Khitan (Sunat) maka dapat membuang tempat bersarangnya kotoran dan najis ( Sangat bermanfaat saat beribadah dalam aturan bebas dari najis).

Bagaimana pula khitan/sunat bagi wanita, sebagian meyakini bahwa sunat wanita dapat menstabilkan rangsangan syahwatnya. Jika dikhitan terlalu dalam (dikhitan terlalu dalam mungkin maksudnya termasuk memotong klitoris) bisa membuat dia tidak memiliki hasrat sama sekali, sebaliknya, jika kulit yang menonjol ke atas vaginanya (identik dengan preputium pada penis/alat kelamin laki laki atau penutup klitoris) dipotong bisa membuat wanita kurang menikmati hubungan seksual dan sulit untuk memperoleh klimaks (orgasme).

Maka Rasululloh Shallallahu alaihi wa Salam bersabda kepada tukang khitan wanita (Ummu A'Thiyyah), yang artinya: "Janganlah kau potong habis, karena (tidak dipotong habis) itu lebih menguntungkan bagi perempuan dan lebih disenangi suami." (HR: Abu Dawud )

Yang membedakan antara khitan pria dan wanita, secara kedokteran adalah: dibidang kesehatan (kurikulum kedokteran) ada pelajaran tentang teknik khitan pria sementara yg khitan wanita tidak ada (liebih mudah). Tetapi secara prinsip anatomi, bila juru khitannya profesional medis, tidak akan ada kesulitan untuk melakukan kedua khitan,baik pada pria maupun wanita. Untuk sederhananya adalah khitan pada pria dilakukan dengan memotong sebagian besar penutup kepala penis (kulup) dengan tidak mengganggu penisnya sama sekali. Rasululloh bukan seorang profesinal medis, dalam hadis di atas Beliau bersabda " jangan kau potong habis,......." sehingga secara harfiah dapat diartikan bahwa khitan pada wanita pun tidak boleh memotong habis klitoris dan asesorinya (identik dengan preputium)dan hanya boleh memotong sebagian penutup klitoris! Ini semua bahasa kedokteran yang sangat sudah diantisipasi oleh Islam dengan aturannya (Hadist Rosul).

Hukum Khitan bagi Muslim dan Muslimah.

Hukum Khitan Bagi laki-laki adalah wajib. Syaikh Al Albani di dalam Tamamul Minnah (hal 69) berkata : “Adapun hukum khitan, maka yang rajih menurut kami adalah wajib. Dan ini adalah pendapat jumhur ulama, seperti Imam Malik, Imam Syafi’i maupun Imam Ahmad. Pendapat ini pula yang dipilih oleh Imam Ibnu Qayyim rahimahullah. Adapun dalil-dalil bersumber dari :

1. Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu ia berkata : Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi 

wassalam bersabda :الْفِرَةُ خَمْسٌ الْخِتَانُ وَاْلاِسْتِحْدَادُ وَقَصُّ الشَّرِبِ وَتَقْلِيمُ اْلأَضْفَارِ وَنَتْفُ اْلآبَاطِ(artinya) : “Fitrah itu ada lima, yaitu : khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kumis, memotong kuku dan mencabut bulu ketiak.”

Hadits shahih dikeluarkan oleh Imam Bukhari (6297 – Al Fath, Imam Muslim (3/27 – Imam Nawawi), Imam Malik di dalam Al Muwattha’ (1927), Imam Abu Dawud (4198), Imam Tirmidzi (2756), Imam Nasa’I (I/14-15), Imam Ibnu Majah (292), Imam Ahmad di dalam Al Musnad (2/229) dan Imam Baihaqi (8/323).

2. Dari ‘Utsaim bin Kulaib dari bapaknya dari kakeknya bahwasanya ia pernah datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam lalu mengatakanقَدْ أَسْلَمْتُ فَقَالَ لَهُ النَِّبيُ صَلَّى اللهٌ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفِرِ وَاخْتَتِنْ(artinya) : “Sungguh saya telah masuk Islam”. Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam bersabda : “Buanglah darimu buku (rambut) kekufuran dan berkhitanlah”.

Hadits Hasan, dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud (356) dan Imam Baihaqi dari beliau (1/172) juga Imam Ahmad (3/415).Ber kata Syaikh Al Albani di dalam Al Irwa’ (79): Ini adalah hadits hasan, karena hadits ini memiliki dua pendukung. Salah satunya dari Qatadah dan Abu Hisyam, sedangkan yang satu dari Wa’ilah bin Asqa’. Dan sunggu saya telah membicarakan tentang keduanya. Telah saya jelaskan juga di dalam Shahih Sunan Abu Dawud (no 1383) bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berhujjah dengan hadits ini.

3. Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam bersabda :
إِلْخَتَتَنَ إِبْرَاهِيْمُ خَلِيْلُ الرَّحْمَانِ بَعْدَ ماَ أَتَتْ عَلَيْهِ ثَمَانُوْنَ سَنَ“Ibrahim Khalilur Rahman berkhitan setelah berumur delapan puluh tahun”. Dikeluarkan oleh Imam Bukhari (6298 – Al Fath), Imam Muslim (2370), Imam Baihaqi (8/325) dan Imam Ahmad (2/322-418) dan lafadz hadits ini ada pada beliau.
Didalam hadit-hadits di atas terdapat keterangan tentang disyariatkannya khitan. Dan bahwasanya orang yang tuapun tetap diperintahkan untuk melaksanakannya, jika ia belum pernah berkhitan.

Hukum Khitan bagi Wanita/muslimah.

Adapun tentang disyariatkannya khitan bagi para wanita, maka dalam hal ini ada beberapa hadits, diantaranya sebagai berikut ini :

1. Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassalam kepada Ummu ‘Athiyah radiyallahu ‘anha (seorang wanita juru khitan) :أُخْفُضِي وَلَا تُنْهِكِي فَإِنَّهُ أَنْضَرُ لِلْوَجْهِ أَحْضَى لِلْزَوْجِ Khitanlah (anak-anak perempuan), tetapi jangan dipotong habis! Karena sesungguhnya khitan itu membuat wajah lebih berseri dan membuat suami lebih menyukainya”.Hadits Shahih, dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud (5271), Imam Al Hakim (3/525), Imam Ibnu ‘Adi di dalam AL Kamil (3/1083) dan Imam Al Khatib didalam Tarikhnya (12/291).

2. Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassalam :ِإذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ
“Apabila dua khitan (khitan laki-laki dan khitan perempuan) sudah bertemu, maka sudah wajib mandi”. Hadits Shahih, dikeluarkan oleh Imam Tirmidzi (108-109), Imam Syafi’I (1/36), Imam Ibnu Majah (608), Imam Ahmad (6/161), Imam Abdurrazzaq (1/245-246) dan Imam Ibnu Hibban (1173-1174- Al Ihsan). Didalam hadits ini, Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam menisbatkan khitan untuk para wanita. Maka ini menjadi dalil tentang disyariatkan juga khitan bagi mereka (wanita, red).

3. Hadits yang diriwayatkan dari Aisyah radiyallahu ‘anha secara marfu’ : اِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا اْلأَرْبَعِ وَمَسَّ الْخِتَانَ فَقَدْ وَجَبَ الْخُسْلُ (artinya) : “Apabila seorang lelaki telah berada di atas empat bagian tubuh istrinya, dan khitannya telah menyentuh dengan khitan istrinya, maka sudah wajib mandi”.
Dikeluarkan oleh Imam Bukhari (1/291 – Al Fath), Imam Muslim (349- Imam Nawawi), Imam Abu ‘Awanah (1/289), Imam Abdurrazaq (939-940), Imam Ibnu Abi Syaibah (1/85) dan Imam Baihaqi (1/164).

Di dalam hadits ini, Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam juga mengisyaratkan adanya dua tempat khitan, yaitu pada seorang lelaki dan pada seorang perempuan. Maka hal ini menunjukkan bahwa seorang perempuan juga dikhitan.

Imam Ahmad rahimahullah berkata : Didalam hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa para wanita dahulu juga dikhitan.


Waktu Khitan.

Mengingat dalil-dalil penentuan waktu (hari ketujuh atau aqil balik) dan atsar derajad hadisnya dhoif sampai ke hasan maka atsar ini menunjukkan atas bolehnya menunda khitan hingga anak tersebut mencapai usia baligh. Karena atsar tersebut menjelaskan tentang amalan kebanyakan para shahabat dalam hal khitan ini dan menunda hingga anak mencapai usia baligh. Dan tidak ragu lagi bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassalam telah hidup bersama mereka. Maka kalau saja perbuatan mereka tersebut menyelisihi syariat, tentu beliau Shallallahu 'alaihi wassalam menjelaskan hal ini kepada mereka. Sehingga hal ini merupakan indikasi yang mengalihkan perintah tersebut dari bersegera melakukannya. Hanya saja masih tetap ada wajibnya perintah ini, maka tidak boleh untuk menunda khitan tersebut sampai melebihi usia baligh.

Adapun dalil dikhitan hari ketujuh adalah lebih merupakan perbuatan bersegera kepada kebaikan sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman Allah Ta’ala :“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu”. (QS Ali Imran 133). Untuk Wanita dikhitan pada waktu masih bayi. Tidak diragukan lagi bahwa bersegera melakukannya lebih utama bagi seorang anak, dimana rasa sakitnya jelas lebih ringan. Berbeda dengan jika ditunda, maka ketika itu sakitnya lebih terasa. Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassalam apabila dihadapkan kepada dua pilihan, maka tidaklah beliau memilih kecuali yang lebih mudah/ringan. Dan juga di dalam khitan terdapat penyingkapan aurat. Sedangkan penyingkapan aurat anak kecil lebih sedikit keburukannya dari pada anak yang sudah besar.

Al ‘Allamah Al Mawardi sebagaimana disebutkan di dalam Fathul Bari (10/342) berkata : Dalam hal khitan ada dua waktu ; yaitu waktu Wajib dan waktu Sunnah. Waktu Wajib adalah ketika baligh dan waktu Sunnah adalah sebelumnya. Yang terbagus adalah pada hari ketujuh setelah kelahiran. Dan disukai agar tidak menunda dari waktu Sunnah kecuali karena udzur.

Waallahu a'lam

Renungan HAti

H.Abu Albi Bambang


Tidak ada komentar:

Posting Komentar