Oleh : H. Abu Albi Bambang Wijonarso
Al Hajjulmabrur laysalahu jazaa un illaljannah, Rosulullah SAW bersabda dari Abu Hurairah r.a Dan tidak ada pahala bagi haji mabrur kecuali surga (Muttafaq alahi).
Istilah “Mabrur” secara harfiah dapat diterapkan pada berbagai jenis ibadah dalam agama Islam. Namun istilah ini sangatlah popular untuk ibadah haji.
Kata “mabrur” sendiri secara etimologis berasal dari kata Barra-yabirru-birrun yang artinya bebuat baik atau patuh dan kata birrun yang merupakan kata benda dari kata itu yang artinya orang yang mendapatkan kebaikkan atau menjadi baik. Maka haji mabrur adalah haji yang mendapatkan kebaikkan, atau haji yang pelakunya menjadi baik.
Ibnu Umar r.a. berkata “Seorang haji yang paling baik adalah yang niatnya paling ikhlas, biayanya paling bersih, dan keyakinannya (aqidah & tauhid) paling baik.
Oleh sebab itu tentunya mendapatkan predikat haji mabrur sangatlah tidak gampang dan sembarangan, tidak semudah kebanyakan orang yang dengan bangga sepulang tanah suci dipanggil pak atau ibu Haji tapi prilakunya jauh dari tuntunan Allah dan Rosul-nya.
Beberapa kiat-kiat yang harus ditempuh setiap calon jemaah haji untuk meraih predikat haji mabrur. Mereka harus mempersiapkan diri sejak yaitu :
Pertama faktor “Niat”
Orang yang melaksanakan haji niatnya bermacam-macam ada yang mencari popularitas , berdagang, berdo’a didepan ka’bah dari masalah yang dihadapi. Niat yang ikhlas karena mencari ridho Allah sangatlah penting, dan hal ini tidak dapat diciptakan dengan mudah akan tetapi harus diupayakan, diciptakan, dan berdo’a minta pertolongan Allah agar niatnya menjadi sebuah keikhlasan. Seluruh ulama sepakat bahwa niat 100% adalah pekerjaan hati sehingga pelaku calon haji harus merekondisikan atau membersihkan seluruh penyakit hati (Iri, dengki, sombong, hasut, egois dsb) dan modal utamanya adalah ilmu agama Islam, keimanan dan ketakwaan seseorang. Sehingga seberapa besar modal tersebut sangatlah berpengaruh untuk mengatasi penyakit hati.
Barometer kebenaran dari sebuah “niat” dapat dilihat sepulangnya dari Haji apakah lebih taat atau melanggar perintah serta larangan Allah dan Rosul-Nya?
Dari Amirul Mu’minin, (Abu Hafsh atau Umar bin Khottob rodiyallohu’anhu) dia berkata: ”Aku pernah mendengar Rosululloh shollallohu’alaihi wassalam bersabda: ’Sesungguhnya seluruh amal itu tergantung kepada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai niatnya. Oleh karena itu, barangsiapa yang berhijrah karena Alloh dan Rosul-Nya, maka hijrahnya kepada Alloh dan Rosul-Nya. Dan barangsiapa yang berhijrah karena (untuk mendapatkan) dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya itu kepada apa yang menjadi tujuannya (niatnya).’” (Diriwayatkan Bukhori dan Muslim).
Kedua, faktor harta.
Dimana bagi calon peserta haji juga harus memperhatikan kehalalan dan bagaimana memperolehnya ?. Mengeluarkan bekal dijalan haji merupakan pengeluaran biaya dijalan Allah. Satu dirham dilipatgandakan pahalanya menjadi tujuh ratus dirham. Banyak kejadian peserta calon haji ada yang biaya (Harta) nya diperoleh secara aneh dan luar biasa subhanallah..!! misalkan ada sebagian yang mendapat gratisan dari salah satu instansi baik pemerintah maupun swasta, atau mendapat biayanya dari saudara /teman /kerabat, atau mendapatkan warisan, ada yang benar-benar menabung sedikit demi sedikit (dari perhitungan akan berangkat 10 tahun lagi tapi ternyata realisasinya 3 tahun berangkat haji),serta ada yang mengorbankan hartanya (jual Rumah, Mobil dsb) dan masih banyak cerita lain akan tetapi yang pasti kesemuanya itu jalan/syariat atas ketetapan yang telah Allah tentukan (Takdir).
Dan yang sangat juga mempilukan adalah tidak ada aturan khusus yang berangkat haji harus Ulama, Ustad, Ahli ibadah, kaya, miskin, tua-muda dsb, hal ini membuktikan bahwa keberangkatan haji seseorang adalah hak prerogratif dari Allah SWT. Bayangkan dari 1,000 orang hanya dipilih satu sebagai tamu Allah SWT di tanah Suci (Kouta dari Saudi Arabia jumlah penduduk dibagi seribu orang). Bagaimana orang yang sudah siap dengan hartanya tapi belum dipanggil Allah begitu pula berlaku bagi seorang yang siap dari sisi ilmu agamanya (Ustad/Ulama) inilah tanda hak prerogratif Allah. Tentunya semua keadaan tersebut diatas sebagai wujud untuk calon haji yang sudah dipanggil Allah mengucapkan terima kasih atas nikmat –Nya dan sebagai modal motivasi memanfaatkan agar diperoleh haji mabrur.
orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dgn harta, benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. (Qs. At Taubah 9:20)
Ketiga, Ilmu manasik haji.
Sejak awal seseorang sudah berniat untuk berhaji, dan menyisihkan uang yang didapat, maka mulai saat itulah yang bersangkutan mulai mengubah sikap prilakunya untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Dengan melaksanakan perintah dan larangannya yang tentunya melalui belajar baik membaca, mengkaji mengamalkan dengan bimbingan guru/ustad.
Menggapai haji mabrur itu tidak cukup dengan mendalami masalah haji dalam waktu yang singkat, manasik haji itu hanya sekedar memantapkan kembali, bukan baru mulai mengenal masalah haji. Dengan manasik haji diharapkan calon jemaah haji akan bisa memaknai dan memahami nilai-nilai filosofos yang terkandung disetiap gerakan yang dilakukannya. Setiap calon haji juga harus tahu syarat, rukun dan wajib haji jangan sampai mengejar yang sunah justru melupakan yang wajib, apalgi rukun haji. Meninggalkan yang wajib maka harus membayar dam (denda), akan tetapi kalau meninggalkan rukun haji maka haji nya tidak sah dan harus mengulang ditahun berikutnya.
Dari ketiga kiat-kiat tersebut diatas sebagai bekal yang harus dibawa dan insyaAllah sepulangnya dari tanah suci akan mendapat predikat Haji mabrur bukan hanya sekedar panggilan pak atau ibu haji semata.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Renungan HAti
H. Abu Albi Bambang Wijonarso
Tidak ada komentar:
Posting Komentar