Oleh : Abu Alby Bambang Wijonarso
Isbal
Perbedaan
Pendapat dalam Masalah Isbal.
Perbedaan pendapat tentang isbal memang sudah lama ada, bukan sebuah hal
yang qath''i, meski ada sebagian kalangan yang agaknya tetap memaksakan
pendapatnya. Hal itu wajar dan kita harus berlapang dada. Walaupun sesungguhnya
perbedaan pendapat itu tidak bisa dipungkiri. Sebagian mengatakan bahwa
memanjangkan kain atau celana di bawah mata kaki hukumnya mutlak haram, apapun
motivasinya. Namun sebagian lainnya mengatakan tidak mutlak haram, karena
sangat tergantung motivasi dan niatnya.
1. Pendapat Yang Mengatakan Mutlak
Haram.
Tidak sulit untuk mencari literatur
pendapat yang mengharamkan isbal secara mutlak. Fatwa-fatwa dari kalangan ulama
Saudi umumnya cenderung memutlakkan keharaman isbal. Kalau boleh disebut
sebagai sebuah contoh, ambillah misalnya fatwa Syeikh Bin Baz rahimahullah.
Jelas dan tegas sekali beliau mengatakan bahwa isbal itu haram, apapun
alasannya. Dengan niat riya'' atau pun tanpa niat riya''. Pendeknya, apapun
bagian pakaian yang lewat dari mata kaki adalah dosa besar dan menyeret
pelakunya masuk neraka. Beliau amat serius dalam masalah ini, sampai-sampai
fatwa beliau yang paling terkenal adalah masalah keharaman mutlak perilaku
isbal ini. Setidaknya, fatwa inilah yang selalu dan senantiasa dicopy-paste
oleh para murid dan pendukung beliau, sehingga memenuhi ruang-ruang cyber di
mana-mana. Berikut ini adalah salah satu petikan fatwa beliau:
“Apa yang di bawah kedua mata kaki
berupa sarung maka tempatnya di Neraka " [Hadits Riwayat Bukhari dalam
sahihnya].
"Ada tiga golongan yang tidak
akan dilihat oleh Allah di hari Kiamat, tidak dilihat dan tidak disucikan (dari
dosa) serta mendapatkan azab yang sangat pedih, yaitu pelaku Isbal (musbil),
pengungkit pemberian dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah
palsu." (HR Muslim)
Kedua hadits ini dan yang semakna dengannya mencakup orang yang
menurunkan pakaiannya (isbal) karena sombong atau dengan sebab lain. Karena
Rasulullah SAW mengucapkan dengan bentuk umum tanpa mengkhususkan. Kalau
melakukan Isbal karena sombong, maka dosanya lebih besar dan ancamannya lebih
keras. Tidak boleh menganggap bahwa larangan melakukan Isbal itu hanya karena
sombong saja, karena Rasullullah SAW tidak memberikan pengecualian hal itu
dalam kedua hadist yang telah kita sebutkan tadi, sebagaiman juga beliau tidak
memberikan pengecualian dalam hadist yang lain.
Beliau SAW menjadikan semua perbuatan isbal termasuk kesombongan karena
secara umum perbuatan itu tidak dilakukan kecuali memang demikian. Siapa yang
melakukannya tanpa diiringi rasa sombong maka perbuatannya bisa menjadi
perantara menuju ke sana. Dan perantara dihukumi sama dengan tujuan, dan semua
perbuatan itu adalah perbuatan berlebihan-lebihan dan mengancam terkena najis
dan kotoran.
Adapun Ucapan Nabi SAW kepada Abu
Bakar As Shiddiq ra. ketika berkata: Wahai Rasulullah, sarungku sering melorot
(lepas ke bawah) kecuali aku benar-benar menjaganya. Maka beliau bersabda:
"Engkau tidak termasuk golongan
orang yang melakukan itu karena sombong." [Hadits Riwayat Bukhari dan
Muslim].
Yang dimaksudkan oleh oleh
Rasulullahbahwa orang yang benar-benar menjaga pakaiannya bila melorot kemudian
menaikkannya kembali tidak termasuk golongan orang yang menyeret pakaiannya
karena sombong. Karena dia (yang benar-benar menjaga ) tidak melakukan Isbal.
Tapi pakaian itu melorot (turun tanpa sengaja) kemudian dinaikkannya kembali
dan menjaganya benar-benar. Tidak diragukan lagi ini adalah perbuatan yang
dimaafkan.
Adapun orang yang menurunkannya dengan sengaja, apakah dalam bentuk
celana atau sarung atau gamis, maka ini termasuk dalam golongan orang yang
mendapat ancaman, bukan yang mendapatkan kemaafan ketika pakaiannya turun.
Karena hadits-hadits shahih yang melarang melakukan Isbal besifat umum dari
segi teks, makna dan maksud. Maka wajib bagi setiap muslim untuk berhati-hati
terhadap Isbal. Dan hendaknya dia takut kepada Allah ketika melakukannya. Dan
janganlah dia menurunkan pakaiannya di bawah mata kaki dengan mengamalkan
hadits-hadits yang shahih ini. Dan hendaknya juga itu dilakukan karena takut
kepada kemurkaan Alllah dan hukuman-Nya. Dan Allah adalah sebaik-baik pemberi
taufiq.[Fatwa Syaikh Abdul Aziz Ibn Abdullah Ibn Bazz dinukil dari Majalah Ad
Da''wah hal 218].
2. Pendapat Yang Mengharamkan Bila
Dengan Niat Riya''
Sedangkan pendapat para ulama yang tidak mengharamkan isbal asalkan
bukan karena riya, di antaranya adalah pendapat Al-Hafidz Ibnu Hajar
Al-Asqalani, seorang yang dengan sukses menulis syarah (penjelasan) kitab
Shahih Bukhari. Kitab beliau ini boleh dibilang kitab syarah yang paling
masyhur dari Shahih Bukhari. Beliau adalah ulama besar dan umat Islam berhutang
budi tak terbayarkan kepada ilmu dan integritasnya. Khusus dalam masalah hukum
isbal ini, beliau punya pendapat yang tidak sama dengan Syeikh Bin Baz yang
hidup di abad 20 ini. Beliau memandang bahwa haramnya isbal tidak bersifat
mutlak. Isbal hanya haram bila memang dimotivasi oleh sikap riya''. Isbal halal
hukumnya bila tanpa diiringi sikap itu.
Ketika beliau menerangkan hukum atas sebuah hadits tentang haramnya
isbal, beliau secara tegas memilah maslah isbal ini menjadi dua. Pertama, isbal
yang haram, yaitu yang diiringi sikap riya''. Kedua, isbal yang halal, yaitu
isbal yang tidak diiringi sikap riya''. Berikut petikan fatwa Ibnu Hajar dalam
Fathul Bari. Di dalam hadits ini terdapat keterangan bahwa isbal izar karena
sombong termasuk dosa besar. Sedangkan isbal bukan karena sombong (riya''),
meski lahiriyah hadits mengharamkannya juga, namun hadits-hadits ini
menunjukkan adalah taqyid (syarat ketentuan) karena sombong. Sehingga penetapan
dosa yang terkait dengan isbal tergantung kepada masalah ini. Maka tidak
diharamkan memanjangkan kain atau isbal asalkan selamat dari sikap sombong.
(Lihat Fathul Bari, hadits 5345).
Menurut pendapat Al-Imam An-Nawawi rahimahullah adalah ulama
besar di masa lalu yang menulis banyak kitab, di antaranya Syarah Shahih
Muslim. Kitab ini adalah kitab yang menjelaskan kitab Shahih Muslim. Beliau
juga adalah penulis kitab hadits lainnya, yaitu Riyadhus-Shalihin yang sangat
terkenal ke mana-mana. Termasuk juga menulis kitab hadits sangat populer,
Al-Arba''in An-Nawawiyah. Juga menulis kitab I''anatut-Thalibin dan lainnya.
Di dalam Syarah Shahih Muslim, beliau
menuliskan pendapat:
Adapun hadits-hadits yang mutlak bahwa
semua pakaian yang melewati mata kaki di neraka, maksudnya adalah bila
dilakukan oleh orang yang sombong. Karena dia mutlak, maka wajib dibawa kepada
muqayyad, wallahu a''lam.
Dan Khuyala'' adalah kibir (sombong). Dan pembatasan adanya sifat
sombong mengkhususkan keumuman musbil (orang yang melakukan isbal) pada
kainnya, bahwasanya yang dimaksud dengan ancaman dosa hanya berlaku kepada
orang yang memanjangkannya karena sombong. Dan Nabi SAW telah memberikan
rukhshah (keringanan) kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq ra seraya bersabda,
"Kamu bukan bagian dari mereka." Hal itu karena panjangnya kain Abu
Bakar bukan karena sombong.
Maka klaim bahwa isbal itu haram secara mutlak dan sudah disepakati oleh
semua ulama adalah klaim yang kurang tepat. Sebab siapa yang tidak kenal dengan
Al-Hafidz Ibnu Hajar dan Al-Imam An-Nawawi rahimahumallah. Keduanya adalah
begawan ulama sepanjang zaman. Dan keduanya mengatakan bahwa isbal itu hanya
diharamkan bila diiringi rasa sombong. Maka haramnya isbal secara mutlak adalah
masalah khilafiyah, bukan masalah yang qath''i atau kesepakatan semua ulama.
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Dan itulah realitasnya.
Pendapat mana pun dari ulama itu, tetap wajib kita hormati. Sebab
menghormati pendapat ulama, meski tidak sesuai dengan selera kita, adalah
bagian dari akhlaq dan adab seorang muslim yang mengaku bahwa Muhammad SAW
adalah nabinya. Dan Muhammad itu tidak diutus kecuali untuk menyempurnakan
akhlaq. Pendapat mana pun dari ulama itu, boleh kita ikuti dan boleh pula kita
tinggalkan. Sebab semua itu adalah ijtihad. Tidak ada satu pun orang yang
dijamin mutlak kebenaran pendapatnya, kecuali alma''shum Rasulullah SAW. Selama
seseorang bukan nabi, maka pendapatnya bisa diterima dan bisa tidak.
Bila satu ijtihad berbeda dengan ijtihad yang lain, bukan berarti kita
harus panas dan naik darah. Sebaliknya, kita harus mawas diri, luas wawasan dan
semakin merasa diri bodoh. Kita tidak perlu menjadi sok pintar dan merasa diri
paling benar dan semua orang harus salah. Sikap demikian bukan ciri thalabatul
ilmi yang sukses, sebaliknya sikap para juhala'' (orang bodoh) yang ilmunya
terbatas.
Semoga Allah SWT selalu menambah dan meluaskan ilmu
kita serta menjadikan kita orang yang bertafaqquh fid-din, Amin Ya Rabbal
''alaminWallahu 'alam
Abu Alby Bambang Wijonarso
Tidak ada komentar:
Posting Komentar