By : H. Bambang Wijonarso
email : bambang_wijonarso@yahoo.com
Rosulullah SAW bersabda dari Hadis riwayat Anas bin Malik ra.: Sesungguhnya Allah Taala mengutus seorang malaikat di dalam rahim. Malaikat itu berkata: Ya Tuhan! Masih berupa air mani. Ya Tuhan! Sudah menjadi segumpal darah. Ya Tuhan! Sudah menjadi segumpal daging. Manakala Allah sudah memutuskan untuk menciptakannya menjadi manusia, maka malaikat akan berkata: Ya Tuhan! Diciptakan sebagai lelaki ataukah perempuan? Sengsara ataukah bahagia? Bagaimanakah rezekinya? Dan bagaimanakah ajalnya? Semua itu sudah ditentukan dalam perut ibunya. (Shahih Muslim No.4785).
Allah SWT menciptakan semua makhluk telah sempurna dengan pembagian rezekinya. Tidak ada satu pun yang akan ditelantarkan-Nya, termasuk kita. Karena itu, rezeki kita yang sudah Allah jamin pemenuhannya. Yang dibutuhkan adalah mau atau tidak kita mencarinya. Yang lebih tinggi lagi benar atau tidak cara mendapatkannya. Rezeki di sini tentu bukan sekadar uang. Ilmu, kesehatan, ketenteraman jiwa, pasangan hidup, keturunan, nama baik, persaudaraan, ketaatan termasuk pula rezeki, bahkan lebih tinggi nilainya dibanding uang.
Walau demikian, ada banyak orang yang dipusingkan dengan masalah pembagian rezeki ini. Kok rezeki saya seret banget, padahal sudah mati-matian mencarinya? Mengapa ya saya gagal terus dalam bisnis? Mengapa hati saya tidak pernah tenang? Aduh biaya kebutuhan pokok semangkin melonjak (karena BBM)! Aduh biaya untuk Anak-anak masuk sekolah bagaimana? Aduh pemasukan dan pengeluaran semangkin tidak seimbang? ....tidak sedikit orang semangkin prustasi dan depresi sehingga memutuskan diri dengan bunuh diri (tiga anak diminumkan racun oleh ibunya dan ibunya juga turut minum)...Ada juga yang tidak sabar menghadapi kesulitan hidup dengan mencuri yang bukan haknya (korupsi), atau menciptakan pemalsuan dari makanan, kosmetik, minuman dan hampir seluruh sendi-sendi kehidupan yang pokoknya menguntungkan (lihat Investigasi diTV).
Kalau kita melihat bahwa Islam tidak mengenal hasil akan tetapi lebih menekankan kepada suatu proses sedangkan hasil sangatlah ditentukan oleh Allah sehingga diperlukan konsep tawakal (penyerahan diri setelah berusaha/ikhtiar secara maksimal), maka sudah saatnya kita harus kembali kepada ilmu tentang ”kepastian rezeki”, dimana Allah telah menetapkan rezeki kepada hambanya didunia ini sehingga merupakan kepastian dari Allah ada yang kaya dan ada yang dimiskinkan (kaya/miskin dalam artian dilebihkan kecukupan dari sisi harta, jabatan, popularitas, keluarga, pengaruh, dan keilmuan) dalam firmanNya :
Perhatikanlah bagaimana Kami lebihkan sebagian dari mereka atas sebagian (yang lain). Dan pasti kehidupan akhirat lebih tinggi tingkatnya dan lebih besar keutamaannya. (Qs. Al Israa[17] : 21)
Mengapa Allah menciptakan ”kepastian rezeki” yang sudah ditentukan untuk hambanya tentunya minimal ada dua tujuan yaitu :
1.Sebagai ujian.
Perlu diketahui bahwa ”kepastian Rezeki” akan didapat setelah manusia berusaha
secara profesional dan maksimal, kemudian masuk fase tawakal (menyerahkan hasil sepenuhnya kepada Allah diiringi dengan Do’a bukan dengan dukun/paranormal), dengan firmanNya
Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Qs. Al An’ aam [6] : 165).
Dari firman Allah tersebut maka sangatlah wajar kalau kita melihat dimasyarakat dalam suatu pekerjaan dari level bawahan/operator sampai pimpinan/manager bahkan direktur atau owner. Ada juga presiden, mentri, anggota DPR/MPR maupun rakyat, ada juga pendidikan tinggi dari sarjana sampai profesor atau pendidikan rendah SMA sampai SD, bahkan ada yang tidak sekolah. Dan sama sekali Allah tidak melihat asesori keduniaan (Harta, jabatan, kaya dan miskin) akan tetapi Allah hanya melihat siapa diantara hambanya yang paling beriman disini pasti diperlukan ujian, sebagaimana emas yang mempunyai kualitas terbaik kadarnya harus melalui proses metode pengujian khusus dan hal ini difirmankan :
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Qs. Al Hujaraat [49] :13).
Manusia yang dilebihkan atau dikurangi (nol/miskin) kecukupan dari sisi harta, jabatan, popularitas, keluarga, pengaruh, dan keilmuan itu dijadikannya asesoris/sarana/alat untuk mencapai ketaatannya kepada Allah. Inilah sebagai indikator seorang muslim yang akan dinilai langsung oleh Allah berupa ujian-ujian apakah lulus atau tidak. Jika ia seorang pemimpin maka selalu mengutamakan asas keadilan, jika ia seorang yang kaya maka ia akan mengutamakan kedermawanan/pemurah, jika ia seorang ulama maka ia akan mengutamakan kehati-hatian/teliti serta tegas dalam berfatwa, jika ia seorang yang miskin maka ia akan mengutamakan kesabaran, jika ia seorang yang penuh dengan kemaksiatan dan bergelimangnya dosa maka ia akan mengutamakan taubat.
2. Saling melengkapi.
Melihat sunatullah kehidupan yang saling melengkapi satu sama lain itulah tujuan dari perbedaan ”kepastian rezeki” yang Allah turunkan. Misalnya murid pasti butuh guru dan sebaliknya. Seorang pemimpin/maneger pasti butuh bawahan/ operator/buruh dan sebaliknya. Orang yang kaya raya pasti butuh orang miskin dan sebaliknya. Rakyat pasti butuh pimpinan dan sebaliknya. Sangatlah mustahil Allah menciptakan semuanya murid tanpa guru atau diciptakannya seluruhnya orang kaya tanpa ada orang miskin, Hal ini telah Allah firmankan :
Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan (Qs. Az Zukhruf [43] : 32).
Setelah ”kepastian Rejeki” telah kita ketahui merupakan ketetapan Allah akan tetapi ada juga yang lebih penting selama ”proses tawakal” perlu dilakukan muhasabah/introspeksi diri mencari penyebab mungkin cara mencarinya yang kurang profesional, kurang serius mengusahakannya, atau ada kondisi yang menyebabkan Allah Azza wa Jalla menahan rezeki yang bersangkutan,
Kalau kondisi yang terakhir ini penyebabnya maka manusia harus pertama, dalam tawakal jangan berprasangka buruk kepada Allah (Qs.65 ayat 3) kedua, Kemaksiatan (Halal/haram) dimana Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya seseorang terjauh dari rezeki disebabkan oleh perbuatan dosanya (HR Ahmad); ketiga, pekerjaan yang melalaikan kita dari mengingat Allah. Bertanyalah, apakah aktivitas kita selama ini membuat hubungan kita dengan Allah makin menjauh? Terlalu sibuk bekerja sehingga lupa shalat (atau minimal telat sholat) lupa membaca Alquran, lupa mendidik keluarga, adalah sinyal-sinyal pekerjaan kita tidak berkah. Jika sudah demikian, jangan heran bila rezeki kita akan tersumbat. Idealnya, semua pekerjaan harus membuat kita semakin dekat dengan Allah. sibuk boleh, namun jangan sampai hak-hak Allah kita abaikan. Saudaraku, bencana sesungguhnya bukanlah bencana alam yang menimpa orang lain. Bencana sesungguhnya adalah saat kita semakin jauh dari Allah.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Renungan Hati
H. Bambang Wijonarso
pmkia@kiaceramics.com
email : bambang_wijonarso@yahoo.com
Rosulullah SAW bersabda dari Hadis riwayat Anas bin Malik ra.: Sesungguhnya Allah Taala mengutus seorang malaikat di dalam rahim. Malaikat itu berkata: Ya Tuhan! Masih berupa air mani. Ya Tuhan! Sudah menjadi segumpal darah. Ya Tuhan! Sudah menjadi segumpal daging. Manakala Allah sudah memutuskan untuk menciptakannya menjadi manusia, maka malaikat akan berkata: Ya Tuhan! Diciptakan sebagai lelaki ataukah perempuan? Sengsara ataukah bahagia? Bagaimanakah rezekinya? Dan bagaimanakah ajalnya? Semua itu sudah ditentukan dalam perut ibunya. (Shahih Muslim No.4785).
Allah SWT menciptakan semua makhluk telah sempurna dengan pembagian rezekinya. Tidak ada satu pun yang akan ditelantarkan-Nya, termasuk kita. Karena itu, rezeki kita yang sudah Allah jamin pemenuhannya. Yang dibutuhkan adalah mau atau tidak kita mencarinya. Yang lebih tinggi lagi benar atau tidak cara mendapatkannya. Rezeki di sini tentu bukan sekadar uang. Ilmu, kesehatan, ketenteraman jiwa, pasangan hidup, keturunan, nama baik, persaudaraan, ketaatan termasuk pula rezeki, bahkan lebih tinggi nilainya dibanding uang.
Walau demikian, ada banyak orang yang dipusingkan dengan masalah pembagian rezeki ini. Kok rezeki saya seret banget, padahal sudah mati-matian mencarinya? Mengapa ya saya gagal terus dalam bisnis? Mengapa hati saya tidak pernah tenang? Aduh biaya kebutuhan pokok semangkin melonjak (karena BBM)! Aduh biaya untuk Anak-anak masuk sekolah bagaimana? Aduh pemasukan dan pengeluaran semangkin tidak seimbang? ....tidak sedikit orang semangkin prustasi dan depresi sehingga memutuskan diri dengan bunuh diri (tiga anak diminumkan racun oleh ibunya dan ibunya juga turut minum)...Ada juga yang tidak sabar menghadapi kesulitan hidup dengan mencuri yang bukan haknya (korupsi), atau menciptakan pemalsuan dari makanan, kosmetik, minuman dan hampir seluruh sendi-sendi kehidupan yang pokoknya menguntungkan (lihat Investigasi diTV).
Kalau kita melihat bahwa Islam tidak mengenal hasil akan tetapi lebih menekankan kepada suatu proses sedangkan hasil sangatlah ditentukan oleh Allah sehingga diperlukan konsep tawakal (penyerahan diri setelah berusaha/ikhtiar secara maksimal), maka sudah saatnya kita harus kembali kepada ilmu tentang ”kepastian rezeki”, dimana Allah telah menetapkan rezeki kepada hambanya didunia ini sehingga merupakan kepastian dari Allah ada yang kaya dan ada yang dimiskinkan (kaya/miskin dalam artian dilebihkan kecukupan dari sisi harta, jabatan, popularitas, keluarga, pengaruh, dan keilmuan) dalam firmanNya :
Perhatikanlah bagaimana Kami lebihkan sebagian dari mereka atas sebagian (yang lain). Dan pasti kehidupan akhirat lebih tinggi tingkatnya dan lebih besar keutamaannya. (Qs. Al Israa[17] : 21)
Mengapa Allah menciptakan ”kepastian rezeki” yang sudah ditentukan untuk hambanya tentunya minimal ada dua tujuan yaitu :
1.Sebagai ujian.
Perlu diketahui bahwa ”kepastian Rezeki” akan didapat setelah manusia berusaha
secara profesional dan maksimal, kemudian masuk fase tawakal (menyerahkan hasil sepenuhnya kepada Allah diiringi dengan Do’a bukan dengan dukun/paranormal), dengan firmanNya
Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Qs. Al An’ aam [6] : 165).
Dari firman Allah tersebut maka sangatlah wajar kalau kita melihat dimasyarakat dalam suatu pekerjaan dari level bawahan/operator sampai pimpinan/manager bahkan direktur atau owner. Ada juga presiden, mentri, anggota DPR/MPR maupun rakyat, ada juga pendidikan tinggi dari sarjana sampai profesor atau pendidikan rendah SMA sampai SD, bahkan ada yang tidak sekolah. Dan sama sekali Allah tidak melihat asesori keduniaan (Harta, jabatan, kaya dan miskin) akan tetapi Allah hanya melihat siapa diantara hambanya yang paling beriman disini pasti diperlukan ujian, sebagaimana emas yang mempunyai kualitas terbaik kadarnya harus melalui proses metode pengujian khusus dan hal ini difirmankan :
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Qs. Al Hujaraat [49] :13).
Manusia yang dilebihkan atau dikurangi (nol/miskin) kecukupan dari sisi harta, jabatan, popularitas, keluarga, pengaruh, dan keilmuan itu dijadikannya asesoris/sarana/alat untuk mencapai ketaatannya kepada Allah. Inilah sebagai indikator seorang muslim yang akan dinilai langsung oleh Allah berupa ujian-ujian apakah lulus atau tidak. Jika ia seorang pemimpin maka selalu mengutamakan asas keadilan, jika ia seorang yang kaya maka ia akan mengutamakan kedermawanan/pemurah, jika ia seorang ulama maka ia akan mengutamakan kehati-hatian/teliti serta tegas dalam berfatwa, jika ia seorang yang miskin maka ia akan mengutamakan kesabaran, jika ia seorang yang penuh dengan kemaksiatan dan bergelimangnya dosa maka ia akan mengutamakan taubat.
2. Saling melengkapi.
Melihat sunatullah kehidupan yang saling melengkapi satu sama lain itulah tujuan dari perbedaan ”kepastian rezeki” yang Allah turunkan. Misalnya murid pasti butuh guru dan sebaliknya. Seorang pemimpin/maneger pasti butuh bawahan/ operator/buruh dan sebaliknya. Orang yang kaya raya pasti butuh orang miskin dan sebaliknya. Rakyat pasti butuh pimpinan dan sebaliknya. Sangatlah mustahil Allah menciptakan semuanya murid tanpa guru atau diciptakannya seluruhnya orang kaya tanpa ada orang miskin, Hal ini telah Allah firmankan :
Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan (Qs. Az Zukhruf [43] : 32).
Setelah ”kepastian Rejeki” telah kita ketahui merupakan ketetapan Allah akan tetapi ada juga yang lebih penting selama ”proses tawakal” perlu dilakukan muhasabah/introspeksi diri mencari penyebab mungkin cara mencarinya yang kurang profesional, kurang serius mengusahakannya, atau ada kondisi yang menyebabkan Allah Azza wa Jalla menahan rezeki yang bersangkutan,
Kalau kondisi yang terakhir ini penyebabnya maka manusia harus pertama, dalam tawakal jangan berprasangka buruk kepada Allah (Qs.65 ayat 3) kedua, Kemaksiatan (Halal/haram) dimana Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya seseorang terjauh dari rezeki disebabkan oleh perbuatan dosanya (HR Ahmad); ketiga, pekerjaan yang melalaikan kita dari mengingat Allah. Bertanyalah, apakah aktivitas kita selama ini membuat hubungan kita dengan Allah makin menjauh? Terlalu sibuk bekerja sehingga lupa shalat (atau minimal telat sholat) lupa membaca Alquran, lupa mendidik keluarga, adalah sinyal-sinyal pekerjaan kita tidak berkah. Jika sudah demikian, jangan heran bila rezeki kita akan tersumbat. Idealnya, semua pekerjaan harus membuat kita semakin dekat dengan Allah. sibuk boleh, namun jangan sampai hak-hak Allah kita abaikan. Saudaraku, bencana sesungguhnya bukanlah bencana alam yang menimpa orang lain. Bencana sesungguhnya adalah saat kita semakin jauh dari Allah.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Renungan Hati
H. Bambang Wijonarso
pmkia@kiaceramics.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar