By : H. Bambang Wijonarso
Email : bambang_wijonarso@yahoo.com
Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula. (Qs. Al Zalzalah 99 : 7 & 8).
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ketika turun surat Al Insaan ayat 8 kaum Muslimin menganggap bahwa orang yang “bershadaqah sedikit” tidak akan memperoleh pahala dan menganggap pula bahwa orang yang berbuat dosa kecil seperti berbohong, mengumpat, mencuri penglihatan dan sebangsanya tidak tercela serta menganggap bahwa ancaman api nereka dari Allah disediakan bagi orang yang berbuat dosa besar. Maka turunlah ayat ini (S.99:7,8) sebagai bantahan terhadap anggapan mereka itu, (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Sa'id bin Jubair).
Banyak fenomena dimasyarakat bahwa jika kita melakukan kebaikan maupun keburukan seolah-olah untuk Allah SWT maupun untuk orang lain (kaum fakir, miskin, kaya, terpandang, bawahan, atasan, teman sejawat, kerabat, sahabat, mitra bisnis dsb). Kebaikan dapat berupa proses membantu, memberi, mencari dan mengarahkan baik secara spontanitas maupun profesionalisme yang seolah-olah kebaikan yang kita lakukan terkesan untuk orang lain. Atau boleh jadi jika kita melakukan ritual ibadah syar’i yang sangat fokus dan maksimal (misal bulan ramadhan dan ibadah Haji, serta menuntut ilmu Agama) seolah-olah dilakukan untuk Allah SWT dibuktikan dengan melahirkan kebanggaan diri/merasa dirinya hebat, sholeh, dan merasa diangkat derajatnya.
Ataupun keburukan yang kita lakukan (contoh bakhil/kikir/pelit, maksiat) seolah-olah merasa puas, diri sendiri sudah berbuat sesuai hawa nafsunya demikian yang terjadi di masyarakat pada umumnya. Nah bagaimana Islam melihat fenomena ini tentunya sangat jauh dari tuntunan Allah SWT dan RosulNya. Mengapa?? Karena akan melahirkan suatu aktifitas yang implementasinya tidak maksimal karena ada dasar pamrih terhadap prilaku baik maupun buruk.
Ketidak sempurnaan manusia dalam mengarungi kehidupan sangatlah mungkin dapat terjadi karena hanya Rosulullah SAW yang dimaksum sehingga tidak ada jaminan baik ustad, ulama, kyai, guru, dokter, sekalipun profesor dapat menciptakan keabadian sebuah kebaikan dan menghilangkan sebuah keburukan artinya selama manusia itu hidup keburukan selalu beserta kebaikkan atau sebaliknya kebaikkan selalu disertai keburukan, sehingga dapat dikatakan ”sebaik-baik manusia ada sisi buruknya begitu pula seburuk-buruknya manusia ada sisi baiknya”.
Kalau mengibaratkan sebuah ”pakaian” sudah menjadi kebiasaan umum selalu dipakai dan selalu dicuci dan dipakai lagi. Dan tidak pernah bosan untuk mencuci dan untuk memakainya kembali, yang jadi persoalan adalah ”kotoran” apa yang mudah atau sulit dicuci, atau bahan pencuci apa yang jelek maupun yang terbaik, hal ini difirmankan Allah subhana wata a’la : Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Qs. Asy. Syams 91 : 8 s/d 10).
Ada hal yang sangat fundamental dimana telah diproklamirkannya oleh seluruh manusia bahwa lahirnya sebuah ”kebaikan” disebabkan karena dirinya dengan cerdik dan perkasanya dapat menciptakan kebaikan tersebut yang dilaluinya dengan berusaha, berupaya, berfikir, bersusah payah dengan mengorbankan tenaga, materi dan waktu. Padahal kelahiran sebuah kebaikan semata-mata karena kemampuan yang diperoleh dari Allah subhana wata a’la sekalipun sebuah kebaikkan yang dilahirkan dari profesi seorang Ustad, ulama, kyiai, dokter, profesor, bawahan, pimpinan, kaya dan miskin. Hal ini sangat tegas difirmankan ”
Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, Maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, Maka tak ada yang dapat menolak kurniaNya. dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Qs. Yunus 10 : 107).
Boleh jadi ada sebagian manusia bertanya mengapa Allah menciptakan kebaikan dan keburukan. Seandainya seluruh manusia didunia berbuat baik maka pasti itu hanya ada dimasjid, majelis dzikir, organisasi/pemerintahan/swasta/keluarga yang bersifat Taat kepada Allah dan RosulNya (atau nanti disurga) serta jika seluruh manusia itu melakukan keburukan/kejahatan pasti tempatnya di penjara, lokalisasi, perjudian, dan sejenisnya (atau nanti di neraka) kedua kelompok tersebut tidak mungkin dapat dipisahkan selama masih didunia yang fana ini, apa maksud dari semua ini Allah menciptakannya yaitu sebagai ”cobaan” bagi hambanya mana yang terbaik dengan firmanNya :
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). dan Hanya kepada kamilah kamu dikembalikan. (Qs. Al Anbiyaa 21 : 35).
Melihat keadaan dimana sebuah kebaikan dan keburukan hanya Allah subhana Wata a’la yang dapat mengijinkan maka sudah selayaknya kita sebagai hambanya harus tetap istiqamah terus meminta kebaikkan dan dihindari dari keburukan. Dengan selalu berupaya menciptakan kebaikan-kebaikan dan bersamaan dengan itu pula memperkecil kesempatan buruk itu muncul yang tentunya diiringi dengan do’a
Dan di antara mereka ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka"[127]. (Qs. Al Baqarah 2 : 201).
Adapun sebuah do’a yang diajarkan Rosulullah SAW adalah sebagai berikut :Abu Hurairah RA berkata: Rasulullah SAW pernah membaca doa".(Artinya = Ya Allah, perbaikilah agamaku karena ia merupakan pangkal urusanku, perbaikilah duniaku karena ia merupakan penghidupanku, perbaikilah akhiratku karena ia merupakan tempat kembaliku, dan jadikanlah hidup sebagai kesempatan untuk menambah setiap kebaikanku, dan jadikanlah mati sebagai pelepas diriku dari setiap kejahatan)." Riwayat Muslim.
Sangatlah tidak mungkin “kebaikan dan keburukan” itu dilihat dari kacamata akal/logika dan perasaan/nafsu belaka, karena keterbatasan akal sangatlah sempit dan sangat lemah (kita melihat sebuah batang kayu yang lurus saja dimasukkan kedalam air maka akan terlihat mata menjadi bengkok). Tentunya sebuah kebaikan dan keburukan menurut Allah dan RosulNya, dari Nawas Ibnu Sam'an RA berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah SAW tentang kebaikan dan kejahatan. Beliau bersabda: “Kebaikan ialah akhlak yang baik dan kejahatan ialah sesuatu yang tercetus di dadamu dan engkau tidak suka bila orang lain mengetahuinya." Riwayat Muslim.
Bagaimana janji Allah dan Rosulnya mengenai kebaikan dan keburukan yang dilakukan manusia selama didunia dengan balasan diakherat yaitu dengan firmanNya :
Barangsiapa yang datang dengan (membawa) kebaikan, Maka baginya (pahala) yang lebih baik daripada kebaikannya itu; dan barangsiapa yang datang dengan (membawa) kejahatan, Maka tidaklah diberi pembalasan kepada orang-orang yang Telah mengerjakan kejahatan itu, melainkan (seimbang) dengan apa yang dahulu mereka kerjakan (Qs Al Qashash 28 :84).
Rosulullah memberi khabar gembira dengan hadistnya :
Dari Ibnu Abbas RA dari Rasulullah SAW, beliau bersabda menyampaikan apa yang diterimanya dari Tuhannya Alloh ‘azza wa jalla. Dia berfirman, “Sesungguhnya Alloh mencatat semua amal kebaikan dan keburukan”. Kemudian Dia menjelaskan. “Maka barang siapa telah berniat untuk berbuat suatu kebaikan, tetapi tidak melakukannya, maka Alloh mencatatnya sebagai satu amal kebaikan. Jika ia berniat baik lalu ia melakukannya, maka Alloh mencatatnya berupa sepuluh kebaikan sampai tujuh ratus kali lipat, bahkan masih dilipatgandakan lagi. Dan barang siapa berniat amal keburukan namun tidak melakukannya, Alloh akan mencatatnya sebagai amal kebaikan yang utuh, dan bila ia berniat dan melakukannya, maka Alloh mencatatnya sebagai satu amal keburukan.” (HR. Bukhori dan Muslim dalam kedua kitab Shahih-nya dengan redaksi tersebut).
Disunahkan untuk memberi ucapan kepada orang berlaku baik kepada kita : Barangsiapa menerima suatu kebajikan lalu berkata kepada pemberinya ucapan "Jazakallahu khairon" (semoga Allah membalas anda dengan kebaikan) maka sesungguhnya dia sudah berlebih-lebihan dalam berterima kasih. (HR. Tirmidzi dan An-Nasaa'i)
Wallahu A’lam Bish-shawab
Renungan Hati
Bambang Wijonarso
Tidak ada komentar:
Posting Komentar