Renungan
HAti
Abu Alby
Bambang Wijonarso
Bulan Muharam adalah bulan yang
muliah. Namun demikian, tak banyak kaum Muslim yang tau bagaimana
memperlakukannya. Bahkan lebih banyak salah memahaminya. Ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil
dalam masalah Bulan Muharam.
Pertama, Bulan Muharram Adalah Bulan Yang Mulia
Bulan Muharram adalah bulan yang
mulia, hal itu dikarenakan beberapa hal:
1. Bulan ini dinamakan Allah
dengan “ Syahrullah “, yaitu bulan Allah. Penisbatan sesuatu kepada Allah
mengandung makna yang mulia, seperti “ Baitullah “ ( rumah Allah ), “Saifullah”
( pedang Allah ), “ Jundullah” ( tentara Allah) dan lain-lainnya. Dan ini juga
menunjukkan bahwa bulan tersebut mempunyai keutamaan khusus yang tidak dimilili
oleh bulan-bulan yang lain.
2. Bulan ini termasuk salah satu
dari empat bulan yang dijadikan Allah sebagi bulan haram, sebagaimana firman
Allah swt :
"Sesungguhnya bilangan bulan
di sisi Allah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah diwaktu Dia menciptakan
lanit dan bumi, diantaranya terdapat empat bulan haram." (Q.S. at Taubah
:36).
Dalam hadis Abu Hurairah ra,
Rasulullah saw bersabda :
“Sesungguhnya zaman itu berputar
sebagaiman bentuknya semula di waktu Allah menciptakan langit dan bumi. Setahun
itu ada dua belas bulan, diantaranya terdapat empat bulan yang dihormati : 3
bulan berturut-turut; Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab Mudhar, yang
terdapat diantara bulan Jumada Tsaniah dan Sya’ban.” (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Bulan ini dijadikan awal bulan
dari Tahun Hijriyah, sebagaimana yang telah disepakati oleh para sahabat pada
masa khalifah Umar bin Khattab ra. Tahun Hijriyah ini dijadikan momentum atas
peristiwa hijrah nabi Muhammad saw.
Kedua, Pada Bulan ini Disunnahkan Untuk Berpuasa
Hadis riwayat Ibnu Abbas ra., ia
berkata:
Ketika Rasulullah saw. tiba di Madinah,
beliau menjumpai orang-orang Yahudi melaksanakan puasa hari Asyura'. Ketika
ditanyakan tentang hal itu, mereka menjawab: Hari ini adalah hari kemenangan
yang telah diberikan Allah kepada Nabi Musa as. dan Bani Israel atas Firaun.
Karena itulah pada hari ini kami berpuasa sebagai penghormatan padanya.
Mendengar jawaban itu Rasulullah saw. bersabda: Kami lebih berhak atas Musa
dari kalian, maka beliau menyuruh para sahabat untuk berpuasa. (Shahih Muslim
No.1910)
Bulan Muharram adalah bulan yang
disunnahkan di dalamnya untuk berpuasa, bahkan merupakan puasa yang paling
utama sesudah puasa pada bulan Ramadhan, sebagaimana yang tersebut dalam hadist
Hurairah ra, di atas. Hadist di atas menunjukkan bahwa Rasulullah saw
menganjurkan kaum Muslimin untuk melakukan puasa sebanyak-banyaknya pada bulan
Muharram. Tetapi tidak dianjurkan puasa satu bulan penuh, hal itu berdasarkan
hadist Aisyah ra, bahwasanya ia berkata : “Saya tidak pernah melihat sama
sekali Rasulullah saw berpuasa satu bulan penuh kecuali pada bulan Ramadhan,
dan saya tidak melihat beliau berpuasa paling banyak pada suatu bulan, kecuali
bulan Sya’ban. “( HR Muslim )
Pertanyaan yang muncul adalah
bagaimana Rasulullah saw menyebutkan bahwa bulan Muharram adalah bulan yang
paling mulia sesudah Ramadhan, padahal beliau sendiri lebih banyak melakukan
puasa pada bulan Sya’ban dan bukan pada bulan Muharram ? Jawabannya : Para
ulama memberikan beberapa alasan, diantaranya bahwa Rasulullah saw belum
mengetahui keutamaan bulan Muharram kecuali pada detik-detik terakhir kehidupan
beliau, sehingga belum sempat untuk berpuasa sebanyak-banyaknya, atau mungkin
adanya udzur syar’I yang menghalangi beliau untuk memperbanyak puasa pada bulan
tersebut, seperti banyak melakukan perjalan jauh (safar) atau udzur-udzur yang
lain.
Puasa bulan Muharram ini
berdasarkan hadist di atas adalah puasa yang paling utama dalam sesudah
Ramadhan dalam satu bulan. Sedangkan puasa Arafah adalah puasa yang paling
utama sesudah Ramadhan bila dilihat dari sisi hari.
عن أبي هريرة t قال : قال رسول
الله r : ( أفضلُ الصيام بعد رمضان شهرُ الله المحرم ، وأفضلُ الصلاة بعد الفريضة
صلاةُ الليل )
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah
saw bersabda : “Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan
Allah, yaitu Muharram. Sedangkan shalat yang paling utama setelah shalat fardhu
adalah shalat malam”. (HR. Muslim)
Ketiga, Bulan Muharram terhadap Hari Asyura’
Hari Asyura’ artinya hari
kesepuluh dari bulan Muharram. Pada hari itu dianjurkan untuk berpuasa,
sebagaimana yang tersebut di dalam hadist Ibnu Abbas ra berkata : “ Ketika
Rasulullah saw. tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa
pada hari ‘Asyura’, maka beliau bertanya : "Hari apa ini?”. Mereka
menjawab :“Ini adalah hari istimewa, karena pada hari ini Allah menyelamatkan
Bani Israil dari musuhnya, oleh karena itu Nabi Musa berpuasa pada hari ini.
Rasulullah pun bersabda : "Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian“
. Maka beliau berpuasa dan memerintahkan sahabatnya untuk berpuasa.”(HR Bukhari
dan Muslim)
Bagaimana cara berpuasa pada hari
Asyura ? Menurut keterangan para ulama dan berdasarkan beberapa hadist, maka
puasa Asyura bisa dilakukan dengan empat pilihan : berpuasa tanggal 9 dan 10
Muharram, atau berpuasa pada tanggal 10 dan 11 Muharram atau berpuasa pada
tanggal 9,10, dan 11 Muharram, atau berpuasa pada tanggal 10 Muharram saja,
tetapi yang terakhir ini, sebagian ulama memakruhkannya, karena menyerupai
puasanya orang-orang Yahudi.
Cara berpuasa di atas berdasarkan
hadist Ibnu Abbas ra, bahwasanya ia berkata : Ketika Rasulullah saw. berpuasa
pada hari ‘Asyura’ dan memerintahkan kaum Muslimin berpuasa, para shahabat
berkata : "Wahai Rasulullah ini adalah hari yang diagungkan Yahudi dan
Nasrani". Maka Rasulullah pun bersabda :"Jika tahun depan kita
bertemu dengan bulan Muharram, kita akan berpuasa pada hari kesembilan.“ (H.R.
Bukhari dan Muslim).
Begitu juga hadist Ibnu Abbas ra,
bahwasanya Rasulullah saw. bersabda : "Puasalah pada hari Asyura’, dan
berbuatlah sesuatu yang berbeda dengan Yahudi dalam masalah ini, berpuasalah
sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya.“ ( HR Ahmad dan Ibnu Khuzaimah )
Dalam riwayat Ibnu Abbas lainnya disebutkan : “Berpuasalah sehari sebelumnya
dan sehari sesudahnya.“
Apa keutamaan puasa pada hari
Asyura’ ini ? Keutamaannya adalah barang siapa yang puasa dengan ikhlas pada
hari Asyura’ tersebut, niscaya Allah swt akan menghapus dosa-dosanya yang telah
dikerjakan selama satu tahun sebelumnya, sebagaimana yang tersebut di dalam
hadist Abu Qatadah ra, bahwasanya seorang laki-laki pernah bertanya kepada
Rasulullah saw tentang puasa ‘Asyura’, maka Rasulullah saw menjawab : “ Saya
berharap dari Allah swt agar menghapus dosa-dosa selama satu tahun sebelumnya.
“ ( HR Muslim )
Dosa-dosa yang dihapus disini
adalah dosa-dosa kecil saja. Adapun dosa-dosa besar, maka seorang Muslim harus
bertaubat dengan taubat nasuha, jika ingin diampuni oleh Allah swt.
Adapun hikmah puasa Asyura’
adalah sebagai bentuk kesyukuran atas selamatnya nabi Musa as dan pengikutnya
serta tenggelamnya Fir’aun dan bala tentaranya, sebagaimana yang tersebut dalam
hadist Ibnu Abbas di atas.
Keempat, Kekeliruan dalam menghadapi Bulan Muharram
Di dalam menghadapi Tahun Baru
Hijriyah, sebagian kaum Muslimin mengerjakan beberapa amalan yang tidak pernah
dicontohkan oleh Rasulullah saw, maka hendaknya kekeliruan tersebut bisa
dihindarkan dari kita. Diantara kekeliruan tersebut adalah :
1. Menjadikan tanggal 1 bulan
Muharram sebagai hari raya kaum Muslimin, mereka merayakannya dengan cara
saling berkunjung satu dengan yang lainnya, atau saling memberikan hadiah satu
dengan yang lainnya, bahkan sebagian dari mereka mengadakan sholat tahajud dan
doa’-do’a khusus pada malam tahun baru. Padahal dalam Islam hari raya hanya ada
dua, yaitu hari raya Idul Fitri dan hari raya Idul Adha. Hal itu sesuai dengan
hadist Anas bin Malik ra, bahwasanya ia berkata : “Rasulullah saw datang ke kota Madinah, pada waktu
itu penduduk Madinah merayakan dua hari tertentu, maka Rasulullah saw bertanya:
Dua hari ini apa ? Mereka menjawab: “Ini adalah dua hari, dimana kami pernah
merayakannya pada masa Jahiliyah. Maka Rasulullah saw bersabda : “ Sesungguhnya
Allah swt telah menggantikannya dengan yan lebih baik: yaitu hari raya Idul
Adha dan hari raya Idul Fitri. (HR Ahmad, Abu Daud dan Nasai )
Begitu juga, merayakan tahun baru
adalah kebiasaan orang-orang Yahudi dan Nasrani, maka kaum Muslimin
diperintahkan untuk menjauhi dari kebiasaan tersebut, sebagaimana yang terdapat
dalam hadist Abu Musa Al Asy’ari bahwasanya ia berkata : “Hari Asyura adalah
hari yang dimuliakan oleh Yahudi dan mereka menjadikannya sebagai hari raya.”
Dalam riwayat Al-Nasai dan Ibnu Hibban, Rasulullah bersabda, “Bedalah dengan
Yahudi dan berpuasalah kalian pada hari Asyura.”
2. Menjadikan tanggal 10 Muharram
sebagi hari berkabung, sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok Syi’ah
Rafidhah. Mereka meratapi kematian Husen bin Ali yang terbunuh di Karbela.
Bahkan sejak Syah Ismail Safawi menguasai wilayah Iran, dia telah mengumumkan bahwa
hari berkabung nasional berlaku di seluruh wilayah kekuasaannya pada tanggal 10
hari pertama bulan Muharram. Ritual meratapai kematian Husen ini dilakukan
dengan memukul tangan-tangan mereka ke dada, bahkan tidak sedikit dari mereka
yang menyabet badan mereka dengan pisau dan pedang hingga keluar darahnya, dan
sebagian yang lain melukai badan mereka dengan rantai.
3. Menjadikan malam 1 Muharram
untuk memburu berkah dengan berbondong-bondong menuju kota Solo dan menyaksikan ritual kirab dan
pelepasan kerbau bule, yang kemudian mereka berebut mengambil kotorannya, yang
menurut keyakinan mereka bisa menyebabkan larisnya dagangan dan membawa berkah
di dalam kehidupan mereka. Semoga Allah menjauhkan kita dari perbuatan syirik
dan bid’ah dan menunjukkan kita kepada jalan yang lurus.
Dalil yang mengatakan 10 hari
puasa pada awal bulan muharram sampai saat ini saya belum menemukan.
Wallahu alam bishowwab.
Renungan HAti
Abu Alby Bambang Wijonarso
Tidak ada komentar:
Posting Komentar