Renungan HAti.
Abu Alby Bambang Wijonarso
Allah ta’ala
berfirman dalam surat Al ‘Ashr,
”Demi masa. Sesungguhnya manusia itu
benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal sholih dan saling menasihati supaya menaati kebenaran dan
saling menasihati supaya menetapi kesabaran” (QS. Al ‘Ashr).
Sehingga disimpulkan surat al Ashr ini adalah
menyangkut empat perkara.
1 1.
Iman yang Dilandasi
dengan Ilmu.
2 2.
Mengamalkan Ilmu.
3. Berdakwah kepada
Allah.
4 4. Bersabar dalam
Dakwah.
Surat Al ‘Ashr merupakan sebuah surat dalam Al Qur’an yang banyak
dihafal oleh kaum muslimin karena pendek dan mudah dihafal. Namun sayangnya,
sangat sedikit di antara kaum muslimin yang dapat memahaminya. Padahal,
meskipun surat ini pendek, akan tetapi memiliki kandungan makna yang sangat
dalam. Sampai-sampai Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata,
لَوْ تَدَبَّرَ النَّاسُ هَذِهِ السُّوْرَةَ لَوَسَعَتْهُمْ
”Seandainya setiap manusia merenungkan surat
ini, niscaya hal itu akan mencukupi untuk mereka.” [Tafsir Ibnu Katsir 8/499].
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, ”Maksud
perkataan Imam Syafi’i adalah surat ini telah cukup bagi manusia untuk
mendorong mereka agar memegang teguh agama Allah dengan beriman, beramal
sholih, berdakwah kepada Allah, dan bersabar atas semua itu. Beliau tidak
bermaksud bahwa manusia cukup merenungkan surat ini tanpa mengamalkan seluruh
syari’at. Karena seorang yang berakal apabila mendengar atau membaca surat ini,
maka ia pasti akan berusaha untuk membebaskan dirinya dari kerugian dengan cara
menghiasi diri dengan empat kriteria yang tersebut dalam surat ini, yaitu
beriman, beramal shalih, saling menasehati agar menegakkan kebenaran
(berdakwah) dan saling menasehati agar bersabar” [Syarh Tsalatsatul Ushul].
Iman yang Dilandasi dengan Ilmu.
Dalam surat ini Allah ta’ala menjelaskan
bahwa seluruh manusia benar-benar berada dalam kerugian. Kerugian yang dimaksud
dalam ayat ini bisa bersifat mutlak, artinya seorang merugi di dunia dan di
akhirat, tidak mendapatkan kenikmatan dan berhak untuk dimasukkan ke dalam
neraka. Bisa jadi ia hanya mengalami kerugian dari satu sisi saja. Oleh karena
itu, dalam surat ini Allah mengeneralisir bahwa kerugian pasti akan dialami
oleh manusia kecuali mereka yang memiliki empat kriteria dalam surat tersebut
[Taisiir Karimir Rohmaan hal. 934].
Kriteria pertama, yaitu beriman kepada Allah.
Dan keimanan ini tidak akan terwujud tanpa ilmu, karena keimanan merupakan
cabang dari ilmu dan keimanan tersebut tidak akan sempurna jika tanpa
ilmu. Ilmu yang dimaksud adalah ilmu syar’i (ilmu agama). Seorang muslim
wajib (fardhu ‘ain) untuk mempelajari setiap ilmu yang dibutuhkan oleh seorang
mukallaf dalam berbagai permasalahan agamanya, seperti prinsip keimanan dan
syari’at-syari’at Islam, ilmu tentang hal-hal yang wajib dia jauhi berupa
hal-hal yang diharamkan, apa yang dia butuhkan dalam mu’amalah, dan lain
sebagainya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلىَ كُلِّ مَسْلَمٍ
”Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim.” (HR.
Ibnu Majah nomor 224 dengan sanad shahih).
Imam Ahmad rahimahullah berkata,
يَجِبُ أَنْ يَطْلَبَ مِنَ الْعِلْمِ مَا يَقُوْمُ بِهِ دِيْنَهُ
”Seorang wajib menuntut ilmu yang bisa
membuat dirinya mampu menegakkan agama.” [Al Furu’ 1/525].
Maka merupakan sebuah kewajiban bagi setiap
muslim untuk mempelajari berbagai hal keagamaan yang wajib dia lakukan,
misalnya yang berkaitan dengan akidah, ibadah, dan muamalah. Semua itu tidak
lain dikarenakan seorang pada dasarnya tidak mengetahui hakikat keimanan
sehingga ia perlu meniti tangga ilmu untuk mengetahuinya.
Allah ta’ala
berfirman,
مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلا الإيمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا
مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلا الإيمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا
”Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al
Quran itu dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al
Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengannya siapa yang Kami kehendaki di
antara hamba-hamba Kami.” (Asy Syuura: 52).
Mengamalkan Ilmu.
Kriteria kedua, Seorang tidaklah dikatakan menuntut ilmu
kecuali jika dia berniat bersungguh-sungguh untuk mengamalkan ilmu tersebut.
Maksudnya, seseorang dapat mengubah ilmu yang telah dipelajarinya
tersebut menjadi suatu perilaku yang nyata dan tercermin dalam pemikiran dan
amalnya.
Oleh karena itu, betapa indahnya perkataan Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah
Oleh karena itu, betapa indahnya perkataan Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah
لاَ يَزَالُ الْعَالِمُ جَاهِلاً حَتىَّ يَعْمَلَ بِعِلْمِهِ فَإِذَا عَمِلَ بِهِ صَارَ عَالِمًا
”Seorang yang berilmu akan tetap menjadi orang
bodoh sampai dia dapat mengamalkan ilmunya. Apabila dia mengamalkannya, barulah
dia menjadi seorang alim” (Dikutip dari Hushul al-Ma’mul).
Perkataan ini mengandung makna yang dalam,
karena apabila seorang memiliki ilmu akan tetapi tidak mau mengamalkannya, maka
(pada hakikatnya) dia adalah orang yang bodoh, karena tidak ada perbedaan antara
dia dan orang yang bodoh, sebab ia tidak mengamalkan ilmunya.
Oleh karena itu, seorang yang berilmu tapi
tidak beramal tergolong dalam kategori yang berada dalam kerugian, karena bisa
jadi ilmu itu malah akan berbalik menggugatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
لاَ تَزُوْلُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتىَّ يَسْأَلَ عَنْ عِلْمِهِ مَا فَعَلَ بِهِ
,”Seorang hamba tidak akan beranjak dari
tempatnya pada hari kiamat nanti hingga dia ditanya tentang ilmunya, apa saja
yang telah ia amalkan dari ilmu tersebut.” (HR. Ad Darimi nomor 537 dengan
sanad shahih).
Berdakwah kepada Allah.
Kriteria ke Tiga, Berdakwah, mengajak manusia kepada Allah
ta’ala, adalah tugas para Rasul dan merupakan jalan orang- orang yang mengikuti
jejak mereka dengan baik. Allah ta’ala berfirman,
“Katakanlah, “inilah jalan (agama)ku, aku dan
orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang
nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.”
(Yusuf: 108).
Jangan anda tanya mengenai keutamaan berdakwah
ke jalan Allah. Simak firman Allah ta’ala berikut,
“Siapakah yang lebih baik perkataannya
daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan
berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?” (QS.
Fushshilat : 33).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
bersabda,
فَوَاللَّهِ لَأَنْ يُهْدَى بِكَ رَجُلٌ وَاحِدٌ خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ
Demi Allah, sungguh jika Allah memberikan
petunjuk kepada seseorang dengan perantara dirimu, itu lebih baik bagimu
daripada unta merah” (HR. Bukhari nomor 2783).
Oleh karena itu, dengan merenungi firman Allah
dan sabda nabi di atas, seyogyanya seorang ketika telah mengetahui kebenaran,
hendaklah dia berusaha menyelamatkan para saudaranya dengan mengajak mereka
untuk memahami dan melaksanakan agama Allah dengan benar.
Sangat aneh, jika disana terdapat sekelompok
orang yang telah mengetahui Islam yang benar, namun mereka hanya sibuk dengan
urusan pribadi masing-masing dan “duduk manis” tanpa sedikit pun memikirkan
kewajiban dakwah yang besar ini, artinya taat sosial sangat dianjurkan dibandingkan taat sendirian (individu), dimana ada seorang wanita yang taat ibadah akan tetapi masuk kedalam Neraka dikarenakan tidak pernah mengajak tetangganya.
Pada hakekatnya orang yang lalai akan
kewajiban berdakwah masih berada dalam kerugian meskipun ia termasuk orang yang
berilmu dan mengamalkannya. Ia masih berada dalam kerugian dikarenakan ia hanya
mementingkan kebaikan diri sendiri (egois) dan tidak mau memikirkan bagaimana
cara untuk mengentaskan umat dari jurang kebodohan terhadap agamanya. Ia tidak
mau memikirkan bagaimana cara agar orang lain bisa memahami dan melaksanakan
ajaran Islam yang benar seperti dirinya. Sehingga orang yang tidak peduli akan
dakwah adalah orang yang tidak mampu mengambil pelajaran dari sabda rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
”Tidak sempurna keimanan salah seorang
diantara kalian, hingga ia senang apabila saudaranya memperoleh sesuatu yang
juga ia senangi.” (HR. Bukhari nomor 13).
Jika anda merasa senang dengan hidayah yang
Allah berikan berupa kenikmatan mengenal Islam yang benar, maka salah satu ciri
kesempurnaan Islam yang anda miliki adalah anda berpartisipasi aktif dalam
kegiatan dakwah seberapapun kecilnya sumbangsih yang anda berikan.
Bersabar dalam Dakwah.
Kriteria keempat adalah bersabar atas gangguan
yang dihadapi ketika menyeru ke jalan Allah ta’ala. Seorang da’i (penyeru) ke
jalan Allah mesti menemui rintangan dalam perjalanan dakwah yang ia lakoni. Hal
ini dikarenakan para dai’ menyeru manusia untuk mengekang diri dari hawa nafsu
(syahwat), kesenangan dan adat istiadat masyarakat yang menyelisihi syari’at
[Hushulul ma’mul hal. 20].
Hendaklah seorang da’i mengingat firman Allah
ta’ala berikut sebagai pelipur lara ketika berjumpa dengan rintangan. Allah
ta’ala berfirman,
”Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) para
rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan
penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami
terhadap mereka” (QS. Al-An’am : 34).
Seorang
da’i wajib bersabar dalam berdakwah dan tidak menghentikan dakwahnya. Dia harus
bersabar atas segala penghalang dakwahnya dan bersabar terhadap gangguan yang
ia temui. Allah ta’ala menyebutkan wasiat Luqman Al-Hakim kepada anaknya (yang
artinya),
”Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah
(manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang
munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian
itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)” (QS. Luqman :17).
Pada akhir tafsir surat Al ‘Ashr ini, Syaikh
Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata,
فَبِالِأَمْرَيْنِ اْلأَوَّلِيْنَ، يُكَمِّلُ اْلإِنْسَانُ نَفْسَهُ، وَبِالْأَمْرَيْنِ اْلأَخِيْرِيْنَ يُكَمِّلُ غَيْرَهُ، وَبِتَكْمِيْلِ اْلأُمُوْرِ اْلأَرْبَعَةِ، يَكُوْنُ اْلإِنْسَانُ قَدْ سَلِمَ تعل مِنَ الْخُسَارِ، وَفَازَ بِالْرِبْحِ [الْعَظِيْمِ]
فَبِالِأَمْرَيْنِ اْلأَوَّلِيْنَ، يُكَمِّلُ اْلإِنْسَانُ نَفْسَهُ، وَبِالْأَمْرَيْنِ اْلأَخِيْرِيْنَ يُكَمِّلُ غَيْرَهُ، وَبِتَكْمِيْلِ اْلأُمُوْرِ اْلأَرْبَعَةِ، يَكُوْنُ اْلإِنْسَانُ قَدْ سَلِمَ تعل مِنَ الْخُسَارِ، وَفَازَ بِالْرِبْحِ [الْعَظِيْمِ]
”Maka dengan dua hal yang pertama (ilmu dan
amal), manusia dapat menyempurnakan dirinya sendiri. Sedangkan dengan dua hal
yang terakhir (berdakwah dan bersabar), manusia dapat menyempurnakan orang
lain. Dan dengan menyempurnakan keempat kriteria tersebut, manusia dapat
selamat dari kerugian dan mendapatkan keuntungan yang besar” [Taisiir Karimir
Rohmaan hal. 934].
Semoga Allah memberikan taufik kepada kita
untuk menyempurnakan keempat hal ini, sehingga kita dapat memperoleh keuntungan
yang besar di dunia ini, dan lebih-lebih di akhirat kelak. Aamiin.
Wallahu ‘alam
Abu Alby Bambang Wijonarso
Tidak ada komentar:
Posting Komentar