Renungan HAti.
Oleh Abu Alby Bambang Wijonarso
Hari akhirat, hari setelah kematian yang wajib
diyakini kebenarannya oleh setiap orang yang beriman kepada Allah ta’ala
dan kebenaran agama-Nya. Hari itulah hari pembalasan semua amal perbuatan
manusia, hari perhitungan yang sempurna, hari ditampakkannya semua perbuatan
yang tersembunyi sewaktu di dunia, hari yang pada waktu itu orang-orang yang
melampaui batas akan berkata dengan penuh penyesalan.
“Duhai, alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal
saleh) untuk hidupku ini.” (Qs. Al Fajr: 24).
Maka seharusnya setiap muslim yang mementingkan
keselamatan dirinya benar-benar memberikan perhatian besar dalam mempersiapkan diri
dan mengumpulkan bekal untuk menghadapi hari yang kekal abadi ini. Karena pada
hakikatnya, hari inilah masa depan dan hari esok manusia yang sesungguhnya,
yang kedatangan hari tersebut sangat cepat seiring dengan cepat berlalunya usia
manusia. Allah ta’ala
berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah
diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Al Hasyr: 18).
Semoga Allah ta’ala meridhai sahabat yang mulia Umar bin Khattab radhiyallahu
‘anhu yang mengingatkan hal ini dalam ucapannya yang terkenal: “Hisab-lah
(introspeksilah) dirimu (saat ini) sebelum kamu di-hisab (diperiksa/dihitung
amal perbuatanmu pada hari kiamat), dan timbanglah dirimu (saat ini) sebelum
(amal perbuatan)mu ditimbang (pada hari kiamat), karena sesungguhnya akan mudah
bagimu (menghadapi) hisab besok (hari kiamat) jika kamu (selalu)
mengintrospeksi dirimu saat ini, dan hiasilah dirimu (dengan amal shaleh) untuk
menghadapi (hari) yang besar (ketika manusia) dihadapkan (kepada Allah ta’ala):
“Pada hari itu
kamu dihadapkan (kepada Allah), tiada sesuatupun dari keadaanmu yang
tersembunyi (bagi-Nya).” (Qs. Al Haaqqah: 18).
(Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitab beliau Az Zuhd (hal. 120),
dengan sanad yang hasan).
Senada dengan ucapan di atas sahabat yang mulia Ali
bin Abi Thalib radhiyallahu
‘anhu berkata: “Sesungguhnya dunia telah pergi meninggalkan (kita)
sedangkan akhirat telah datang di hadapan (kita), dan masing-masing dari
keduanya (dunia dan akhirat) memiliki pengagum, maka jadilah kamu orang yang
mengagumi/mencintai akhirat dan janganlah kamu menjadi orang yang mengagumi
dunia, karena sesungguhnya saat ini (waktunya) beramal dan tidak ada
perhitungan, adapun besok (di akhirat) adalah (saat) perhitungan dan tidak ada
(waktu lagi untuk) beramal.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Az Zuhd
(hal. 130) dan dinukil oleh Imam Ibnu Rajab Al Hambali dalam kitab beliau Jaami’ul
‘uluumi wal hikam (hal. 461)).
Jadilah kamu di dunia
seperti orang asing…Dunia tempat
persinggahan sementara dan sebagai ladang akhirat tempat kita mengumpulkan
bekal untuk menempuh perjalanan menuju negeri yang kekal abadi itu. Barangsiapa
yang mengumpulkan bekal yang cukup maka dengan izin Allah dia akan sampai ke
tujuan dengan selamat, dan barang siapa yang bekalnya kurang maka dikhawatirkan
dia tidak akan sampai ke tujuan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita
sikap yang benar dalam kehidupan di dunia dalam sabda beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam: “Jadilah kamu di dunia seperti orang asing atau orang yang sedang
melakukan perjalanan.” (HR. Al Bukhari no. 6053).
Hadits ini merupakan bimbingan bagi orang yang beriman
tentang bagaimana seharusnya dia menempatkan dirinya dalam kehidupan di dunia.
Karena orang asing (perantau) atau orang yang sedang melakukan perjalanan
adalah orang yang hanya tinggal sementara dan tidak terikat hatinya kepada
tempat persinggahannya, serta terus merindukan untuk kembali ke kampung
halamannya. Demikianlah keadaan seorang mukmin di dunia yang
hatinya selalu terikat dan rindu untuk kembali ke kampung halamannya yang
sebenarnya, yaitu surga tempat tinggal pertama kedua orang tua kita, Adam ‘alaihis
salam dan istrinya Hawa, sebelum mereka berdua diturunkan ke dunia.
Sikap
hidup ini menjadikan seorang mukmin tidak panjang angan-angan dan terlalu muluk
dalam menjalani kehidupan dunia, karena “barangsiapa yang hidup di dunia
seperti orang asing, maka dia tidak punya keinginan kecuali mempersiapkan bekal
yang bermanfaat baginya ketika kembali ke kampung halamannya (akhirat),
sehingga dia tidak berambisi dan berlomba bersama orang-orang yang mengejar
dunia dalam kemewahan (dunia yang mereka cari), karena keadaanya seperti
seorang perantau, sebagaimana dia tidak merasa risau dengan kemiskinan dan
rendahnya kedudukannya di kalangan mereka.” (Ucapan Imam Ibnu Rajab dalam kitab
beliau Jaami’ul
‘Uluumi Wal Hikam (hal. 461), dengan sedikit penyesuaian)
Makna inilah yang diisyaratkan oleh sahabat yang
meriwayatkan hadits di atas, Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu
ketika beliau berkata: “Jika kamu (berada) di waktu sore maka janganlah tunggu
datangnya waktu pagi, dan jika kamu (berada) di waktu pagi maka janganlah
tunggu datangnya waktu sore, serta gunakanlah masa sehatmu (dengan memperbanyak
amal shaleh sebelum datang) masa sakitmu, dan masa hidupmu (sebelum) kematian
(menjemputmu).” (Diriwayatkan oleh imam Al Bukhari dalam kitab Shahihul
Bukhari, no. 6053).
Berbekallah, dan sungguh sebaik-baik bekal adalah takwa
Sebaik-baik bekal untuk perjalanan ke akhirat adalah
takwa, yang berarti “menjadikan pelindung antara diri seorang hamba dengan
siksaan dan kemurkaan Allah yang dikhawatirkan akan menimpanya, yaitu (dengan)
melakukan ketaatan dan menjauhi perbuatan maksiat kepada-Nya.” (Ucapan Imam
Ibnu Rajab dalam kitab Jaami’ul ‘Uluumi Wal Hikam (hal. 196).
Maka sesuai dengan keadaan seorang hamba di dunia
dalam melakukan ketaatan kepada Allah dan meninggalkan perbuatan maksiat,
begitu pula keadaannya di akhirat kelak. Semakin banyak dia berbuat baik di
dunia semakin banyak pula kebaikan yang akan di raihnya di akhirat nanti, yang
berarti semakin besar pula peluangnya untuk meraih keselamatan dalam
perjalanannya menuju surga.
Inilah diantara makna yang diisyaratkan oleh
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau: “Setiap orang akan dibangkitkan
(pada hari kiamat) sesuai dengan (keadaannya) sewaktu dia meninggal dunia.”
(HR. Muslim, no. 2878). Artinya: Dia akan mendapatkan balasan pada hari
kebangkitan kelak sesuai dengan amal baik atau buruk yang dilakukannya sewaktu
di dunia. (Lihat penjelasan Al Munaawi dalam kitab beliau Faidhul
Qadiir (6/457))
Maka dari itu, semua peristiwa besar yang akan dialami
manusia pada hari kiamat nanti, Allah akan mudahkan bagi mereka dalam
menghadapinya sesuai dengan pemahaman dan pengamalan mereka terhadap dua
landasan utama Islam ini sewaktu di dunia.
Fitnah (ujian keimanan) dalam kubur yang merupakan
peristiwa besar pertama yang akan dialami manusia setelah kematiannya, mereka
akan ditanya oleh dua malaikat: Munkar dan Nakir (Sebagaimana yang disebutkan
dalam hadits riwayat At Tirmidzi (no. 1083) dan dinyatakan shahih oleh Syaikh
Al Albani dalam Ash Shahiihah, no. 1391) dengan tiga pertanyaan: Siapa
Tuhanmu?, apa agamamu? dan siapa nabimu? (Sebagaimana yang disebutkan dalam
hadits shahih riwayat Ahmad (4/287-288), Abu Dawud, no. 4753 dan Al Hakim
(1/37-39), dinyatakan shahih oleh Al Hakim dan disepakati oleh Adz Dzahabi.).
Allah hanya menjanjikan kemudahan dan keteguhan iman ketika mengahadapi ujian
besar ini bagi orang-orang yang memahami dan mengamalkan dua landasan Islam ini
dengan benar, sehingga mereka akan menjawab: Tuhanku adalah Allah, agamaku
adalah Islam dan Nabiku adalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah ta’ala berfirman
:
“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang
beriman dengan ‘ucapan yang teguh’ dalam kehidupan di dunia dan di akhirat, dan
Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia
kehendaki.” (Qs. Ibrahim: 27)
Makna ‘ucapan yang teguh’ dalam ayat di atas
ditafsirkan sendiri oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih yang
diriwayatkan oleh sahabat yang mulia Al Bara’ bin ‘Aazib radhiyallahu
‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seorang
muslim ketika ditanya di dalam kubur (oleh Malaikat Munkar dan Nakir) maka dia
akan bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang benar kecuali Allah (Laa Ilaaha
Illallah) dan bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah (Muhammadur
Rasulullah), itulah (makna) firman-Nya: Allah meneguhkan (iman)
orang-orang yang beriman dengan ‘ucapan yang teguh’ dalam kehidupan di dunia
dan di akhirat.” (HR.Al Bukhari (no. 4422), hadits yang semakna juga
diriwayatkan oleh Imam Muslim (no. 2871))
Termasuk peristiwa besar pada hari kiamat, mendatangi
telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang penuh kemuliaan,
warna airnya lebih putih daripada susu, rasanya lebih manis daripada madu, dan
baunya lebih harum daripada minyak wangi misk (kesturi), barangsiapa yang meminum darinya
sekali saja maka dia tidak akan kehausan selamanya (Semua ini disebutkan dalam
hadits yang shahih riwayat imam Al Bukhari (no. 6208) dan Muslim (no. 2292).
Semoga Allah menjadikan kita semua termasuk orang-orang yang dimudahkan minum
darinya).
Demikian pula termasuk peristiwa besar pada hari
kiamat, melintasi ash shiraath (jembatan) yang dibentangkan di atas
permukaan neraka Jahannam, di antara surga dan neraka. Dalam hadits yang shahih
(Riwayat imam Al Bukhari (no. 7001) dan Muslim (no. 183) dari Abu Sa’id Al
Khudri radhiyallahu
‘anhu) disebutkan bahwa keadaan orang yang melintasi jembatan
tersebut bermacam-macam sesuai dengan amal perbuatan mereka sewaktu di dunia.
“Ada yang melintasinya secepat kerdipan mata, ada yang secepat kilat, ada yang
secepat angin, ada yang secepat kuda pacuan yang kencang, ada yang secepat
menunggang onta, ada yang berlari, ada yang berjalan, ada yang merangkak, dan
ada yang disambar dengan pengait besi kemudian dilemparkan ke dalam neraka
Jahannam” – na’uudzu
billahi min daalik – (Ucapan syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam
kitab beliau Al
Aqiidah al Waasithiyyah, hal. 20) .
Syaikh Muhammad bin Shaleh Al ‘Utsaimin ketika
menjelaskan sebab perbedaan keadaan orang-orang yang melintasi jembatan
tersebut, beliau berkata: “Ini semua (tentu saja) bukan dengan pilihan
masing-masing orang, karena kalau dengan pilihan (sendiri) tentu semua orang
ingin melintasinya dengan cepat, akan tetapi (keadaan manusia sewaktu)
melintasi (jembatan tersebut) adalah sesuai dengan cepat (atau lambatnya
mereka) dalam menerima (dan mengamalkan) syariat Islam di dunia ini;
barangsiapa yang bersegera dalam menerima (petunjuk dan sunnah) yang dibawa
oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka diapun akan cepat melintasi jembatan
tersebut, dan (sebaliknya) barangsiapa yang lambat dalam hal ini, maka diapun
akan lambat melintasinya; sebagai balasan yang setimpal, dan balasan (perbuatan
manusia) adalah sesuai dengan jenis perbuatannya.” (Kitab Syarhul
Aqiidatil Waasithiyyah, 2/162)
Balasan akhir
yang baik (yaitu Surga) bagi orang-orang yang bertakwa
Akhirnya, perjalanan manusia akan sampai pada tahapan
akhir; surga yang penuh kenikmatan, atau neraka yang penuh dengan siksaan yang
pedih. Di sinilah Allah ta’ala akan memberikan balasan yang sempurna bagi
manusia sesuai dengan amal perbuatan mereka di dunia. Allah ta’ala
berfirman:
“Adapun orang-orang
yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya
nerakalah tempat tinggal(nya). Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran
Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya
surgalah tempat tinggal(nya)” (Qs. An
Naazi’aat: 37-41).
Maka balasan akhir yang baik hanyalah Allah
peruntukkan bagi orang-orang yang bertakwa dan membekali dirinya dengan
ketaatan kepada-Nya, serta menjauhi perbuatan yang menyimpang dari agama-Nya.
Allah ta’ala
berfirman:
“Negeri akhirat itu,
Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat
kerusakan (maksiat) di (muka) bumi, dan kesudahan (yang baik) itu (surga)
adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (Qs. Al Qashash: 83)
Syaikh Abdurrahman As Sa’di berkata: “…Jika mereka
(orang-orang yang disebutkan dalam ayat ini) tidak mempunyai keinginan untuk
menyombongkan diri dan berbuat kerusakan (maksiat) di (muka) bumi, maka
konsekwensinya (berarti) keinginan mereka (hanya) tertuju kepada Allah, tujuan
mereka (hanya mempersiapkan bekal untuk) negeri akhirat, dan keadan mereka
(sewaktu di dunia): selalu merendahkan diri kepada hamba-hamba Allah, serta
selalu berpegang kepada kebenaran dan mengerjakan amal shaleh, mereka itulah
orang-orang bertakwa yang akan mendapatkan balasan akhir yang baik (surga dari
Allah ta’ala).”
(Taisiirul
Kariimir Rahmaan fi Tafsiiri Kalaamil Mannaan, hal. 453)
Penutup
Setelah kita merenungi tahapan-tahapan perjalanan
besar ini, marilah kita bertanya kepada diri kita sendiri: sudahkah kita
mempersiapkan bekal yang cukup supaya selamat dalam perjalanan tersebut? Kalau
jawabannya: belum, maka jangan putus asa, masih ada waktu untuk
berbenah diri dan memperbaiki segala kekurangan kita -dengan izin Allah ta’ala-
. Caranya, bersegeralah untuk kembali dan bertobat kepada Allah, serta
memperbanyak amal shaleh pada sisa umur kita yang masih ada. Dan semua itu akan
mudah bagi orang yang Allah berikan taufik dan kemudahan baginya.
Imam Fudhail bin ‘Iyaadh pernah menasehati seseorang
lelaki, beliau berkata: “Berapa tahun usiamu (sekarang)”? Lelaki itu menjawab:
Enam puluh tahun. Fudhail berkata: “(Berarti) sejak enam puluh
tahun (yang lalu) kamu menempuh perjalanan menuju Allah dan (mungkin saja) kamu
hampir sampai”. Lelaki itu menjawab: Sesungguhnya kita ini milik Allah dan akan
kembali kepada-Nya. Maka Fudhail berkata: “Apakah kamu paham arti ucapanmu?
Kamu berkata: Aku (hamba) milik Allah dan akan kembali kepada-Nya, barangsiapa
yang menyadari bahwa dia adalah hamba milik Allah dan akan kembali kepada-Nya,
maka hendaknya dia mengetahui bahwa dia akan berdiri (di hadapan-Nya pada hari
kiamat nanti), dan barangsiapa yang mengetahui bahwa dia akan berdiri (di
hadapan-Nya) maka hendaknya dia mengetahui bahwa dia akan dimintai
pertanggungjawaban (atas perbuatannya selama di dunia), dan barangsiapa yang
mengetahui bahwa dia akan dimintai pertanggungjawaban (atas perbuatannya) maka
hendaknya dia mempersiapkan jawabannya.” Maka lelaki itu bertanya: (Kalau
demikian) bagaimana caranya (untuk menyelamatkan diri ketika itu)? Fudhail
menjawab: “(Caranya) mudah.” Leleki itu bertanya lagi: Apa itu? Fudhail
berkata: “Engkau memperbaiki (diri) pada sisa umurmu (yang masih ada), maka
Allah akan mengampuni (perbuatan dosamu) di masa lalu, karena jika kamu (tetap)
berbuat buruk pada sisa umurmu (yang masih ada), kamu akan di siksa (pada hari
kiamat) karena (perbuatan dosamu) di masa lalu dan pada sisa umurmu.” (Dinukil
oleh Imam Ibnu Rajab dalam kitab Jaami’ul ‘Uluumi Wal Hikam, hal. 464)
Beliau (Fudhail bin ‘Iyaadh) adalah Fudhail bin
‘Iyaadh bin Mas’uud At Tamimi (wafat 187 H), seorang imam besar dari dari
kalangan atba’ut tabi’in yang sangat terpercaya dalam meriwayatkan hadits
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan seorang ahli ibadah (lihat kitab Taqriibut
Tahdziib, hal. 403)
Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan doa dari
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam (dalam HR. Muslim, no. 2720) dari sahabat Abu
Hurairah radhiyallahu
‘anhu) untuk kebaikan agama, dunia dan akhirat kita:
Ya Allah, perbaikilah
agamaku yang merupakan penentu (kebaikan) semua urusanku, dan perbaikilah
(urusan) duniaku yang merupakan tempat hidupku, serta perbaikilah akhiratku
yang merupakan tempat kembaliku (selamanya), jadikanlah (masa) hidupku sebagai
penambah kebaikan bagiku, dan (jadikanlah) kematianku sebagai penghalang bagiku
dari semua keburukan.
Abu Alby Bambang Wijonarso
Terimakasih ilmunya, semoga bermanfaat untuk saya khususnya.
BalasHapus